Archive for March 2017

By : Emha 'Ainun Najib

Memang bukan saridin namanya jika tidak gila, dan bukan gilanya saridin kalau definisinya sama dengan definisi anda tentang gila. Wong sama saya saja saridin sering bertengkar soal mana yang gila mana yang tidak kok. Padahal saya juga agak gila. Apalagi sama anda. Anda kan jelas-jelas waras.
Misalnya di jaman Demak bagian akhir-akhir itu saya menyatakan bersyukur bahwa dakwah para wali semakin produktif. Sunan Ampel yang berfungsi sebagai semacam Ketua MPR, sunan Kudus sebagai Menko Kesra, Sunan Bonang sebagai Pangab, atau Sunan Kalijaga sebagai Mendikbud, benar-benar menjalankan management sejarah dan strategi sosialisasi nilai dengan metode-metode yang canggih dan efektif.
Bukan hanya komunitas-komunitas Islam semakin menyebar dan meluas, tapi juga mutu kedalaman orang beribadah semakin menggembirakan. Tapi saridin menertawakan saya. Dan bagi saya sangat menyakitkan karena tertawanya dilambari aji-aji kedigdayaan bathin, begitu suara tertawanya lolos dari terowongan tenggorokan saridin, pepohonan bergetar-getar, burung-burung berterbangan menjauh, awan-awan dan mega melarikan  diri sehingga matahari gemetar tertinggal sendirian di langit .
"Jangan sok kamu Din..!" Saya berteriak
Saridin menghentikan tertawanya. Ia menjawab, "Bersyukur yah bersyukur, tapi kalau saya, juga berprihatin."
"Kenapa.?." Tanya saya
"Diantara orang-orang yang beribadah kepada Tuhan itu banyak yang Majnun..!!"
"Gila..??"
"Ya, Majnun artinya gila, Majnun.!!"
"Majnun gimana..??"
"Pengertian kita tentang junun atau kegilaan tampaknya berbeda. Bagi saya gitu itu gila, tapi bagi kamu itu tidak."
"Gitu itu gimana yang kamu maksud?"
"Orang berdiri khusyuk bersedekap. Matanya konsentrasi ke kiblat. Mulutnya mengucapkan hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya kepada-Mu aku meminta pertolongan..." Tiba-tiba tertawanya meledak lagi, sehingga tanah yang saya pijak berguncang, padahal tidak demikian. Orang tidak hanya kepada Tuhan menyembah. Wong jelas tiap hari dia menyembah para priyayi, para priyagung, para tumenggung atau para Adipati. Minta tolongnya juga tidak kepada Tuhan. Ia banyak bergantung pada atasannya dibandingkan kepada Tuhannya. Meskipun dia tidak menyatakan, tapi terbukti jelas dalam perilaku dia bahwa yang nomor satu bagi hidupnya bukan Tuhan, melainkan penguasa-penguasa lokal dalam hidupnya. Entah penguasa politik, atau penguasa ekonomi. Itu namanya Majnun. Tuhan kok dibohongi. Dan caranya membohongi Tuhan dengan kekhusyukan lagi! Kalau otaknya sehat, hal begitu tak terjadi. Hanya otak gila saja yang memungkinkan hal itu terjadi."
Saya melengos, "Ah ini terlalu idealis. Normal dong kalau manusia punya kelemahan yang demikian. Mana ada manusia yang sempurna. Orang kan boleh berproses. Orang berhak belajar secara bertahap. Pengabdiannya terhadap Tuhan diolah dari belum utuh pada akhirnya. Konsistensi seseorang atas kata-kata yang diucapkannya kan bertahap, tidak langsung bisa seratus persen!"
Kesal betul saya.
Tiba-tiba tertawanya meletus lagi, sehingga saya terjengkang lima Depa ke belakang. "Lho ini masalah simpel, kalau bilang jagung yah jagung, kalau kedelai yah kedelai. Kalau itu yah itu. Kalau tidak itu yah tidak. Gampang saja kan.? Kalau seorang imam terlanjur mengungkapkan statement kepada Tuhan "hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan" maka ia harus bertanggung jawab atas kata kami di situ. Artinya, pertama, ia terlanjur berjanji kepada Tuhan. Kedua ia harus bertanggung jawab sebagai imam, sebagai pemimpin. Seorang imam harus tahu persis dan mengolah tanggung jawab kolektif atas seluruh persoalan jamaahnya. Tidak hanya imam dan takwanya, tapi juga segala masalah kesehariannya, sampai soal nasi dan problem-problem sosialnya.."

Baca Juga : Demokrasi tolol versi Saridin

Sekarang giliran saya yang tertawa. Saya mendatangi Saridin dan berbisik di telinganya, "Din, jangan terlalu serius dong. Dialognya yang santai saja.!"
"Lho," Saridin terhenyak, "justru karena ini saya pilihkan tema tema lawakan. Gimana sih ente ini. Saya yang omongkan inikan orang-orang yang melawak kepada Tuhan. Orang-orang yang menyatakan sesuatu tapi tidak sungguh-sungguh. Orang yang ndangel di hadapan Tuhan, karena dipikirnya Tuhan itu butuh dagelan dan disangkanya para malaikat bisa tertawa."
Saya jadi agak takut-takut. "Din, Saridin, kamu jangan begitu ah. Jangan omong yang enggak-enggak. Kalau sama Tuhan yang serius dong!"
"Justru saya sangat serius kepada Tuhan , sehingga saya ceritakan mengenai orang-orang yang melawak dihadapan-Nya..!!"
"Orang beribadah ko melawak.!" Saya membantah lagi.
"Lho gimana sih," ia menjawab, "orang tiap hari bersembahyang dan mengajukan permintaan kepada Tuhan 'Ya Allah anugerah ilahi aku jalan yang lurus !' dan Tuhan sudah menganugerahkan apa yang orang minta. Orang itu tidak pernah memakainya, tapi tiap hari ia memintanya lagi kepada Tuhan. Kalau saya jadi Tuhan, pasti kesal dong.."
"Husysysysy !!!" Saya membentak.
"Husysysysy bagaimana !"
"Emangnya kamu Tuhan?"
"Siapa bilang saya Tuhan? Majnun kamu!"
"Emangnya Tuhan bisa kesel??"
"Maha suci Allah dari kekesalan, tapi apakah karena Tuhan mustahil kesal maka menjadi alasan hamba-hamba-Nya untuk berbuat semaunya, untuk mendustai Dia, untuk berbuat gila?"
"Wong gitu saja kok gila tho Din !"
"Lho orang sudah disuguhi kopi, tidak diminum, lah kok minta kopi lagi, saya suguhi kopi lagi, lagi, lagi, lagi, sampe meja penuh sesak dengan gelas-gelas kopi, tapi lantas tidak diminum lagi, tapi diminta lagi dan lagi, gila namanya kan?"
"Ah, yah bukan gila, paling-paling yah munafik namanya."
"Yah gila dong, Majnun. Orang yang punya logika, tapi berprilaku tidak logis, itu penyakit Junun namanya. Orang yang tidak menggunakan pengertian mengenai konteks, proporsi dan lokasi-lokasi persoalan, itu virus Junun yang menyebabkannya. Orang bilang keadilan sosial, tapi kerjanya tiap hari menata ketimpangan , itu Majnun. Orang bilang semua perjuangan itu untuk rakyat, padahal prakteknya tidak, itu namanya virus Junun lebih parah dari HIV.."
Akhirnya saya kesal dan saya tinggalkan si Majnun ini !

Humor Cak Nun : Majnun Versi Saridin

Posted by : Unknown 0 Comments
Tag : , ,


Saridin bukan tidak sadar dan bukan tanpa perhitungan kenapa dia memilih nyantri ke pondoknya Sunan Kudus. Saridin itu tipe seorang murid yang cerdas dan mengerti apa yang dilakukannya.
Harap dimengerti murid itu bukan padanan kata dari siswa atau student, sebagaimana manusia zaman modern memaknainya secara tolol. Memang manusia dalam kebudayaan dan peradaban modern kerjanya slalu melawak. Mereka lucu, dan bahkan sangat lucu karena mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka lucu.
Coba lihat saja, di duhia modern ada namanya universitas, wah gagahnya bukan main lembaga pendidikan tertinggi ini. Penuh gengsi dan keangkuhan. Kalau sudah lulus darinya, orang disebut 'sarjana'.
Padahal sesungguhnya, saridin membuktikan sendiri bahwa para pelaku lembaga pendidikan dunia modern ini ndangel atawa ngelawak. Mereka pura-pura bikin universitas dengan pemahaman bahwa yang diproduksi adalah manusia universal.
Padahal nanti para sarjana keluaran universitas itu kualitas dan cakrawala pandangannya tak lebih dari manusia fakultatif. Anak didik yang usianya sudah dewasa ini tetap saja kanak-kanak sampai tua, karena sudah bertahun-tahun di universitas masih saja terbuntu pada kualitas fakultatif atau bahkan jurusan.
Apa begitu namanya, kata Saridin, kalau bukan ndangel. Kalau remaja-remaja itu berangkat ke universitas, ngakunya pergi kuliah. Istilah itu dari bahasa Arab: Kulliyah. Artinya, suatu keberangkatan intelektual, mental, spritual dan moral menuju taraf kosmopolitalisme.
Segi lawakannya menurut saridin terletak pada kenyataan bahwa sebenarnya mereka bukan berangkat kuliah, melainkan berangkat juz'iyyah. Yah yang diterangkan di atas tadi 'juz'iyyah' itu artinya berangkat memahami sesuatu secara sektoral, secara fakultatif dan parsial.
Seandainya mereka bukan pelawak, tentu setiap keberangkatan juz'iyyah akan selalu pada akhirnya diorientasikan atau dikembalikan lagi ke spektrum Kulliyah atau universitas. Tapi karena tradisi demikian tidak menjadi habitat utama budaya pendidikan manysia modern, maka hasilnya adalah kesempitan.

Kalau pembicaraan kita sampai pada soal 'dasi' atau 'sepatu', yang merupakan ciri-ciri teroenting dari eksistensi manusia modern, lebih terasa lagi lawakanya. Kalau sudah mengingat itu, saridin tersengguk-sengguk karena tawa dan tangisnya menjadi satu keluar dari mulut matanya.
Dasi itu menurut pemahaman saridin adalah benda yang benar benar tidak bisa dipahami apa kegunaannya, kecuali untuk siap-siap kalau sewaktu-waktu pemakainya ingin kendat atau bunuh diri dengan cara menggantung diri atau menjerat leher.
Kebudayaan manusia modern selalu menjelaskan dasi dalam konteks sopan santun, kepribadian kelas menengah, simbol gengsi dan lain sebagainya.  Itu semua pada penglihatan saridin benar-benar abstrak. Bagaimana mungkin kepribadian dikaitkan atau apalagi ditentukan oleh seutas kain yang diikatkan mengelilingi leher.
Benar-benar sangat lucu,. Saridin sendiri khawatir Tuhan bisa geleng-geleng kepala karena kelucuan dasi ini tingkatnya benar-benar rendah. Kepribadian itu masalah software, soal batin, mutu nilai yang rohaniyah sifatnya. Kok dilawakkan melalui seutas dasi. Alangkah tidak bermutunya lawakan manusia modern.

Apalagi masalah sepatu. "Pakailah sepatu" menirukan seseorang yang pernah didengarnya di abad 20, "agar kakimu terhindar dari duri dan kerikil tajam".
Padahal para pemakai sepatu justru cenderung menolak untuk berjalan di jalanan. Mereka justru lebih sering melangkahkan kaki di lantai yang beralaskan karpet tebal dan empuk.
Lantas seseorang melanjutkan, " tapi srbelum pakai sepatu, pakailah dulu kaos kaki, untuk melindungi kakimu dari sepatu agar tidak melicet."
Di sinilah menurut study saridin, puncak lawakanya. Orang yang disuruh pakai sepatu dan kaos kaki pasti kebingungan, "jadi sebenarnya sepatu ini melindungi kaki ataukah mengancam kaki, sehingga kaki harus dilapisi dengan kaos kaki?"
Oleh karena itu, sejak abad 16 saridin sudah sadar untuk tak mau diranjau oleh kebodohan yang canggih atau kepandaian yang ndangel versi kebudayaan modern. Maka ia mateg ati menjadi murid.
'Murid' itu kata subyek yang berasal dari kata kerja arada, yaridu,muridan. Artinya: seseorang yang berkehendak. Ingat kata iradat Tuhan? Artinya kehendak Tuhan.
Saridin menjadi muridnya Sunan Kudus karena ia sendiri yang berkehendak untuk itu. Juga ia sendiri yang berkehendak, atau menjadi subyek yang menghendaki segala macam yang menyangkut ilmu dan pengalaman hidup yang akan dialaminya dari sang Sunan.
Dengan kata lain sesungguhnya saridin sendiri yang menyusun kurikulum kesantriannya. Itu namanya murid. Kalau seseorang datang ke pesantren atau ke sekolah lantas pasrah bongkokan dan mulutnya mengangga melulu menunggu apasaja terapan kurikulum yang telah disediakan, itu namanya murad. Artinya orang yang kehendaki.
Memang sih pesantrenya Sunan Kudus sudah memiliki kurikulum, sistem pendidikan dengan metode pengajaran tersendiri, tetapi itu sekedar bahan dan masukan bagi saridin. Si saridin sendiri yang kemudian mengatur dan menguasai kurikulum itu didalam dirinya sendiri.
Jadi hakekatnya pesantren saridin terletak di dalam otaknya sendiri.  Universitas saridin berlangsung didalam metode dan proses belajar atau kaifiyah intelektual-spritual saridin sendiri. Itulah sebabnya ia sungguh-sungguh seorang murid.

Menurut pandangan saridin, sikap menjadi murid adalah perwujudan demokrasi pendidikan. Kalau ia hanya murad, berarti ia menyediakan diri untuk di tindas.
Tapi jangan lupa pengetahuan tentang demokrasi itu pasti saridin ambil dari dunia modern juga. Jadi jangan seratus persen percaya kalau saridin begitu mbagusi ketika menertawakan kebudayaan modern. Sebab sesungguhnya ia juga banyak belajar kepada segala sesuatu mengenai modernitas dan modernisme.
Bahkan ada bulan bulan dimana ia salah menerapkan prinsip demokrasi ketika mengikuti pengajaran dan pendidikan yang diselenggarakan oleh Sunan Kudus.
Ketika sang Sunan meminta saridin membuktikan hafalan Qur'annya, satu juz saja, didepan para santri lainnya, dengan mantap ia menjawab "Sunan, ada hak asasi saya untuk memilih apakah saya perlu menghapalkan Qur'an atau tidak."
Demokrasi, bagi saridin Kala itu adalah bertitik berat pada prinsip hak asasi manusia.

Ketika ia diminta untuk mempraktekkan jurus jalan panjang ketika dilatih silat, saridin juga menjawab: "saya sendiri lah yang berwenang mempraktekkan jurus itu sekarang. Tidak seorang pun dapat memaksa saya..."
Tapi sebelum selesai kalimatnya, Sunan Kudus mendadak menghampirinya dan menyerbunya dengan berbagai jurus. Saridin kepontal-pontal, pontang-panting, terjatuh-jatuh, terluka dan keseleo.
"Kalau kamu tidak sanggup menjadi pendekar, jangan bersembunyi di balik kata demokrasi!" Kata Sunan Kudus sambil mencengkram leher saridin yang terengah-engah.

Demokrasi tolol versi Saridin

Posted by : Unknown 0 Comments
Tag : , , ,

Syekh Siti Jenar atau Syekh Datuk Abdul Jalil atau dengan sebutan Syekh Lemah Abang, dikenal sebagai Wali yang penuh kontroversi, ajaran-ajarannya banyak yang mengaggap sesat padahal jika dilihat dari kacamata bathin beliau tidaklah sesat atau menyimpang hanya saja cara menyampaikannya yang kurang tepat.
Tidak seharusnya orang awam memakan buah dari kema'rifatan karna hal itu mengandung rahasia Ketuhanan (rububiyyah).
Terlepas dari berbagai kontroversi sang Wali, ada beberapa secarik puisi yang dipersembahkan teruntuk beliau. Berikut diantaranya :

Sebuah cinta didalam puisi
Mengingatkanku kepada penciptaan kali pertama
Ketika ia sendirian mereka-reka sunyi
Belumlah ada nama-nama

Sebuah cinta didalam puisi
Mengingatkanku kepada mimpi indah kali pertama
Ketika aku sendirian mereka-reka arti
Belumlah ada makna-makna

Sebuah cinta didalam puisi
Mengingatkanku kepada mata air bengawan
Ketika ia menggemericik dari puncak pegunungan
Sesampainya di muara menjelma menjadi

Banjir bandang yang
Menenggelamkan aku
Ke dalam samudra makrifat cinta
Sekaligus hujatan sepanjang usia

Sajak Syekh Siti Jenar

Posted by : Unknown 0 Comments
Tag : , ,



“Cobaan anugrah tidak kalah hebat dari musibah. Zaman serba mudah,insting bersyukur kalah dengan watak kufur.
Matrealistik dikedepankan. Cinta dunia berlebih, hedonis, hingga prilaku korup.
 Hadirnya jiwa-jiwa tercerahkan melalui tarbiyah ruhhiyah dibutuhkan untuk menjadi obor ditengah kehidupan dunia yang terang namun sejatinya pekat ini”
( KH. Zuhrul Anam Hisyam)

Ulama Syuriah, Syekh Badruddin Al Husaini Kediamannya tidak jauh dari lokalisasi (pusat prostitusi). Suatu saat, Syekh badruddin memerintahkan seseorang untuk kirim salam epada para wanita penghibur. Sekaligus minta didoakan supaya khusnul khotimah.

Tarbiyah Ruhiyyah

Posted by : Unknown 0 Comments
Tag : , , ,

Sebagian Tokoh Ulama yang Menjalani laku Thoriqoh


Ulama yang akan disebutkan ini hanyalah sebagian kecil dari banyaknya ulama besar yang ternyata juga menjalani laku Thoriqoh. Sementara dalam literatur umum, nama-nama tersebut ‘hanya’ populer dikenal sebagai ulama, cendekiawan muslim.

  • Syekh Abdul Halim Mahmud, Syaikh Al Azhar, Mesir. Menjadi panutan, fatwa dan pendapatnya menjadi rujukan seluruh rakyat Mesir. Dia menjalani laku Thoriqoh Syadzaliyyah.

  • Syekh Mutawwali Sya’rowi, mufasir tersohor Mesir. Disebut sebagai ‘Mujahid abad 20’. Termasuk pengikut Thoriqoh Balqoidiyyah.

  • Syekh Ilyas Khandahlawi, pendiri Tabligh. Menjadi pelaku empat Thoriqoh : an Naqsabandiyyahh, Qodiriyyah, Syuhrowardiyyah, dan Jistiytah.


  • Hasan Al Bana, Tokoh Muslim Dunia. Pengikut Thoriqoh Hashofiyyah.

  • Buya Sutan Mansur, Tokoh salah satu ormas dan sangat disegani. Ternyata hidupnya adalah kehidupan sufi.



  • Buya Hamka, Salah satu tokoh islam Indonesia yang menulis Buku Tasawuf Modern. Karya tasawufnya menjadi referensi hingga sekarang.   


Ulama Sufi Modern

Posted by : Unknown 0 Comments
Tag : , ,


TOKOH-TOKOH TASAWUF AKHLAQI

1. Hasan Al-Bashri (21 – 110 H)

a. Biografi Singkat

Hasan Al-Bashri, yang nama lengkapnya Abu Sa’in Al-Hasan bin Yasar, adalah seorang zahid yang amat masyhur di kalangan tabiin. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 21 H. (632 M.) dan wafat pada hari Kamis bulan Rajab tanggal 10 tahun 110 H (728 M). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khathtab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat lainnya.

Tokoh Sufi Akhlaqi

Posted by : Unknown 0 Comments
Tag : , , ,


Kata “tasawuf” dalam bahasa Arab adalah bisa “membersihkan” atau “saling membersihkan”. Kata “membersihkan” merupakan kata kerja yang membutuhkan objek. Objek tasawuf adalah akhlak manusia.

Kajian Tasawwuf Akhlaqi

Posted by : Unknown 0 Comments
Tag : , , ,

- Copyright © Fauzan Khan - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -