Posted by : Unknown
Monday, February 27, 2017
Peran Sunan
Gunung Djati dalam Dakwah dan Sosial Budaya
DALAM
kosmologi Jawa, seperti halnya banyak kosmologi Asia Tenggara lainnya, menurut
van Bruinessen (1999:42), pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana
dengan alam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur,
gunung, gua, dan hutan tertentu serta tempat “angker” lainnya tidak hanya
diziarahi sebagai “ibadah” saja tetapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu (ngelmu)
alias mencari kesaktian dan legitimasi politik. Setelah orang Jawa mulai masuk
Islam, Makkah lah yang, tentu saja, dianggap sebagai pusat kosmis utama—selain
untuk berziarah, ibadah haji, juga menuntut ilmu agama Islam, meskipun penuh
dengan berbagai resiko. Sebetulnya, pada masa itu ada berbagai pusat keilmuan
lain yang tidak kalah dibandingkan dengan Mekkah dan Madinah, tetapi orang Asia
Tenggara mencarinya di tanah suci ini.
Masa Sunan
Gunung Djati Berguru Agama Islam
SUNAN Gunung
Djati (SGD) historis mungkin memang pernah, atau mungkin juga tidak,
mengunjungi Mekkah dan Madinah. Namun laporan tentang usahanya menuntut ilmu di
sana, terlepas dari kebenaran historisnya, memberikan beberapa isnformasi
berharga tentang Islam Indonesia abad ke-17 (Bruinessen, 1999:223). Dalam
naskah Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) dan Babad Cirebon edisi
Brandes (BC-Br) diceritakan bahwa SGD belajar kepada Najmuddin al-Kubra, dan
kemudian selama dua tahun belajar kepada ‘Athaillah al-Iskandari al-Syadzili di
Madinah—yang menurut Bruinessen (1999:224) dia menerima pembai’atan menjadi
penganut tarekat Syadziliyyah, Syattariyah, dan Naqsyabandiyah.
CPCN halaman
31 baris ke lima sampai dengan halaman 32 baris ke empat menjelaskan.
…/ i
telasira Sarif Hidayat yuswa
taruna akara
ruwang dasa warsa ya dharmestha
muwang hayun
dumadi acariyeng agama Rasu-
l / mathang
ika lunga ta ya ring Mekah//
engke sira
maguru ring Seh Tajmuddin a-
l-Kubri
lawasiara ruwang warsa / irika ta
ya ring Seh
Ataulahi Sajili ngaranira
kang panutan
Imam Sapi’I ika / ri huwus la-
wasira
ruwang warsa // I telas ika
Sarip
Hidayat lunga umareng kitha Bagda-
Dengke sira
maguru tasawup Rasul /
Lawan
tamolah ing pondhok
wang pasanak rama-

Nira /
sampun ika kretawidya tumuli
mulih (a)
ring nagarinira // (Atja, 1986:128)
Terjemahan
(Atja, 1986:165)
…/Setelah
sarip Hidayat berusia
remaja,
kira-kira dua puluh tahun, ia seorang yang
saleh dan
berhasrat menajdi guru agama Is-
lam. Oleh
akrena itu ia pergi ke Mekkah. Di
sini ia
berguru kepada Seh Tajmuddin al-
Kubri,
lamanya dua tahun. Setelah itu ia (berguru)
Kepada Seh
Ataulahi Sajili namanya,
yang
penganut Imam Sapi’i, lamanya
Dua tahun,
sehabis itu
Sarip
Hidayat pergi menunju kota baghdad.
Di sini ia
berguru tasawuf Rasul
Dan tinggal
di pondok paman ayah-
Nya. Setelah
pelajarannya selesai, kemudian
Ia kembali
ke negerinya…
BC-Br pupuh
ke tigabelasa Kinanti, bait pertama dan kedua (Brandes, 1911:66) juga
menginformasikan hal yang sama.
Siad Kamil
loentaipoen
Njanteri ing
Sjech Agoeng Wacil
Ana ing
negara Mekah
Ingkang nama
Sjech Tajmoe’ddin
Al-Koebri
Molana Akbar
Sampoen
toetoeg anglebeti
Be’at dzikir
lawan soeghoel
Moesafahah
lawan talqin
Woes ing
sampoerna abe’at
Noeli ika
njanteri maning
Maring Sjech
agoeng nama
‘Ata’oellahi
Sadzili
Terjemahan:
Said Kamil
berangkatlah
Belajar di
Syekh Agung
Yang ada di
negara Mekah
Yang bernama
Syekh Tajmuddin
Al-Kubri
Molana Akbar
Telah masuk
Baiat,
zikir, sughul,
musafahah,
talqin
telah
sempurna baiat
lalu berguru
lagi
kepada Syekh
Agung yang bernama
Atau’llahi
Sazili
Jarak ruang
dan wktu yang memisahkan SGD dengan orang-orang yang dikatakan gurunya, Ibn
‘Athaillah Sadzili dan Najmuddin al-Kubra menimbulkan kronologis yang
a-historis dari sumber di atas. Sebab hasil penelitian Bruinessen (1999:224)
menyebutkan bahwa Ibn ‘Atha’illah adalah orang terkemuka di Mesir pada abad
ke-13 dan bukan di Madinah pada abad ke-16. Demikian juga Najmuddin al-Kubra,
bahkan lebih jauh lagi; Kubra menyebarkan ajarannya di Khawarizm (Asia Tengah
dan wafat di sana pada tahun 1221. Munculnya kedua nama ini dimungkinkan karena
tarekat Syatariyah dan Naqsabandiyah telah tersebar ke Nusantara
selama abad ke-17 melalui Madinah, dan sangat mungkin bahwa tarekat
Syadziliyah pun menyebar pada masa yang sama. Nama-nama tersebut muncul
menunjukkan adanya pengetahuan yang cukup memadai tentang Kubrawiyah, tarekat
yang dihubungkan dengan nama Najmuddin al-Kubra.
Hipotesis
paling sederhana yang diajukan Bruinessen (1999:225) menerangkan
rujukan-rujukan kepada tarekat Syatariyah, Naqsabandiyah, dan Kubrawiyah
yang muncul dalam naskah-naskah tradisi Cirebon sejauh ini adalah bahwa
lingkungan istana, yang darinya teks-teks tersebut berasal, pada abad ke-17
sudah berkenalan dengan berbagai tarekat melalui seorang atau lebih murid al-Syinawi
atau penggantinya—mungkin orang Indonesia asli yang menunaikan ibadah haji atau
orang luar yang datang ke Indonesia.
Dalam
tradisi babad di Jawa Barat (Cirebon dan Banten), Syekh Jumadil Kubra
digambarkan sebagai nenek moyang SGD. Kronika Banten dan Cirebon memberikan,
dalam bentuk yang sedikit berbeda, silsilah yang telah disingkatkan sebagai
berikut:
Nabi
Muhammad saw.
Ali dan
fatimah
Imam Husain
Imam Zainal
Abidin
Imam Ja’far
Shadiq
Syekh Zainal
Kubra (atau Zainal Kabir)
Syekh
Jumadil Kubra
Syekh Jumadil
Kabir
Sultan Bani
Israil
Sultan Hut
dan Ratu Fatimah
Muhammad
Nuruddin (Sunan Gunung Djati)
Silsilah ini
terdiri dari sejumlah bagian yang terpisah. Bagian pertama menyebut keturunan
langsung dari Nabi Muhammad sampai Imam Syi’ah yang keenam, Ja’far Shadiq (yang
ayahnya, Imam kelima, Muhammad al-Baqir, tidak disebut dalam satu versi pun)
dimulai dengan nama-nama ini, demikian pula silsilah semua sayyid dari
Hadramaut; yang mencolok Ja’far juga merupakan Imam terakhir yang disebut dalam
silsilah tertentu. baca juga sejarah Wali songo
Bagian
terakhir dari silisalh tersebut menyebut dua orang raja yang menguasai negara
muslimmitologis (kadang-kdang dinamakan Mesir); nama mereka nampaknya
menunjukkan hubungan eksplisit dengan kenabian pra-Muhammad. Hud adalah nama
nabi ‘Arab” pertama yang disebutkan dalam al-Qur’an, tetapi nama ini juga
terdapat dalam al-Qur’an sebagai kata benda yang mempunyai arti majemuk yang
dipakai untuk menyebut orang Yahudi; Bani Israil, “keturunan Israi’”, serupa
dengan istilah yang dipakai untuk menyebit orang-orang Yahudi, yang
kadang-kadang mencakup juga kaum monoteis lainnya. Karena itu kedua nama
tersebut juga berarti “penguasa umat Yahudi”. Bagi Bruinessen (1999:237) nama
Jumadil Kubra barangkali hanyalah pengkoreksian terhadap nama Jumadil Kubra,
sebagaimana juga nama Jumadil Akbar dan Jumadil Makbur. Nama Jumadil Kubra
merupakan satu-satunya yang dapat dikemukakan dalam berbagai kepustakaan Jawa.
Kebenaran
historis tentang nama-nama guru yang didatangi SGD sebagaimana tercantum dalam
naskah-naaskah tradisi Cirebon nampaknya sulit untuk dibuktikan, di samping
tidak ada kesaksian lain—kecuali CPCN dan naskah-naskah tradisi Cirebon—juga
masa hidup SGD dengan para gurunga terpaut jauh ke belakang. Namun, terlepas
dari nama-nama gurunya, naskah-naskah tradisi Cirebon memberikan informasi
lainnya, yakni setelah Syarif Hidayat berusia 20 tahun, dia berniat dengan
sungguh-sungguh untuk menjadi guru agama Islam. Karena itu, dia lalu berangkat
ke Mekkah, lalu pergi ke Bagdad untuk belajar tasawuf dan tinggal di
pondok bersama kerabat ayahnya. Setelah tamat ia kembali ke negerinya, lalu
pergi ke tanah Jawa melalui Gujarat dan Samudera Pasai untuk menyebarkan agama
Islam di negeri leluhur ibunya, Cirebon.
Peran Dakwah
Sunan Gunung Djati
PUSAT-PUSAT
perdagangan di pesisir utara, yakni Gresik, Demak, Cirebon, dan Banten sejak
akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16 telah menunjukkan kegiatan keagamaan
oleh para wali di Jawa. Kegiatan ini mulai nampak sebagai kekuatan politik di
pertengahan abad ke-16 ketika kerajaan Demak sebagai penguasa Islam pertama di
Jawa berhasil menyerang ibu kota Majapahit (Garff, 1976:3). Sejak itu
perkembangan Islam di Jawa telah dapat berperan secara politik, di mana para
wali dengan bantuan kerajaan Demak, kemudian Pajang dan Mataram dapat meluaskan
pengembangan Islam tidak saja ke seluruh daerah-daerah penting di Jawa, tetapi
juga di luar Jawa (Ambary, 1999:58).
Dalam
naskah-naskah tradisi Cirebon, diceritakan bahwa di Gunung Djati, kurang lebih
lima kilometer sebelah utara kota Cirebon Sekarang, telah tumbuh pesantren yang
cukup ramai, yang dipimpin oleh Syekh Datuk Kahfi, letak pesantren itu tidak
jauh dari Pasambangan. Ketika Tome Pires mengunjungi Cirebon pada tahun 1513,
ia mengatakan bahwa Cirebon merupakan sebuah pelabuhan yang berpenduduk sekitar
1000 keluarga dan pengauasanya telah beragama Islam. Pires selanjutnya
menyatakan, Islam telah hadir di Cirebon sekitar tahun 1470-1475 (Lihat
Cortesao, 1944:184-185).
Dalam
tardisi Cirebon disebutkan bahwa Walangsungsang atau Cakrabumi—kemudian
bergelar Cakrabuwana—melakukan perjalanan ibadah haji ke Mekkah bersama
adiknya, Rarasantang. Disebutkan bahwa Rarasantang dinikahi Sultan Mesir dan
berputra Syarif Hidayatullah dan Syarif Arifin. Selanjutnya Syarif Hidayatullah
menerima pemerintahan Cirebon dari Pamannya, Cakrabuwana pada sekitar tahun
1479 serta membuat pusat pemerintahan di Lemah wungkuk, ia kemudian tinggal di
istana Pakungwati. Pakungwati inilah kelak menjadi tempat tinggal tetap para
sultan Cirebon.
Dalam usia
20 tahun Syarif Hidayatullah telah mempunyai kualifikasi sebagai guru agama
Islam karena ia telah berguru agama Islam di Mekkah dan Madinah. Dalam
perjalanannya ke Cirebon ia singgah di Pasai dan tinggal bersama Maulana Iskak
(Sulendraningrat, 1972:7; Siddique, 1977:64-65). Ketika tiba di pelabuhan Muara
Djati (Cirebon) kemudian terus ke desa Sembung-Pasambangan, dekat Giri Amparan
Djati, pada tahun 1475—ada pula naskah yang menyebut tahun 1470. Di sana ia
mengajar agama Islam menggantikan Syekh Datuk Kahfi yang telah meninggal dunia.
Perlahan-lahan ia menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat yang
menganggapnya sebagai orang asing dari Arab. Ia kemudian digelari Syekh Maulana
Djati atau Syekh Djati. Syekh Djati mengajar juga di dukuh Babadan. Kemudian ia
pergi ke Banten untuk mengajar agama Islam di sana. Sepulangnya dari Banten ia
dinobatkan oleh uaknya menjadi kepala nagari dan digelari Susuhunan Djati atau
Sunan Djati atau Sunan Caruban. Sejak itulah Caruban Larang dari sebuah negeri
mulai dikembangkan menjadi sebuh kesultanan dengan nama Kesultanan Cirebon.
Di Cirebon,
aktivitas SGD yang tampil sebagai kepala negara sekaligus sebagai salah seorang
Walisanga lebih memprioritaskan pada pengembangan agama Islam melalui dakwah,
salah satunya adalah menyediakan sarana ibadat keagamaan dengan mempelopori
pembangunan mesjid agung dan mesjid-mesjid jami diwilayah bawahan Cirebon.
Metode dan cara dakwah SGD dapat dibaca dalam naskah-naskah tradisi Cirebon
baik metode dakwah konvensional melalui ceramah keagamaan maupun metode dakwah yang—tidak
dijamin kebenarannya dan aneh-aneh—diliputi oleh unsur-unsur legendaris dan
a-historis.
Pada tahun
1480 dibangun Mesjid Agung yang dinamai Sang Cipta Rasa yang terletak di
samping kiri keraton dan sebelah Barat alun-alun. Pembangunan mesjid ini dibantu
oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Adapun pekerjaan fisiknya dilaksanakan
oleh mantan arsitek Majapahit, Raden Sepat. Dalam naskah-naskah tradisi Cirebon
disebutkan bahwa pembangunan mesjid agung ini melibatkan seluruh para wali
tanah Jawa dan selesai dalam waktu satu malam. Mesjid Sang Cipta Rasa menurut
Zen (1999:170) bukanlah berada di samping keraton dan sebelah barat alun-alun,
tetapi berada di sekitar kompleks pemakaman Sunan Gunung Djati di Desa Astana
Gunung Djati, kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon. Nama mesjid ini
nyaris tidak dikenal, sebab orang lebih mengenalnya sebagai Mesjid Sunan Gunung
Djati
Untuk
menjalankan roda pemerintahan dan aktivitas masyarakat dibangun sarana dan
prasarana umum, seperti keraton, sarana transportasi melalui jalur laut,
sungai, dan jalan darat, pembentukan pasukan keamanan (pasukan jaga baya)
yang jumlah dan kualitasnya memadai baik untuk di pusat kerajaan maupun di
wilayah-wilayah yang sudah dikuasainya.
Pada tahun
1438 SGD memperluas dan melengkapi keraton Dalem Agung Pakungwati, bekas
kediaman Cakrabuwana, dengan membangun bangunan-bangunan pelengkap serta tembol
keliling setinggi 2,5 meter dan tebalnya 80 cm. Pada areal tanah seluas kurang
lebih 20 hektar. Beberapa waktu kemudian dibangun pula tembok keliling ibu kota
dengan tinggi dua meter, meliputi areal seluas kurang lebih 50 hektar dengan
beberapa pintu gerbang, salah satunya disebut Lawang Gada.
Pada waktu
pembangunan tembok keliling ibu kota, dibangun pula jalan besar dari alun-alun
keraton Pakungwati ke pelabuhan Muarajati dengan maksud agar para pedagang
asing atau utusan-utusan dari kerajaan lain yang masuk ke pelabuhan Muarajati
dapat dengan mudah menemui Susuhunan apabila mereka mau menghadap atau
membicarakan sesuatu, di samping untuk keamanan dan arus barang dari pelabuhan.
Tranportasi
jalur laut pun diupayakan untuk ditata sebaik mungkin. Di sebelah tenggara
keraton, di tepi sungai Kriyan, dibangun pangkalan perahu kerajaan lengkap
dengan gapura yang disebut lawang Sanga dan bengkel pembuatan perahu
besar serta istal kuda kerajaan dan pos-pos penjagaan. Sementara di pelabuhan
Muarajati, bangunan-bangunan untuk fasilitas pelayaran seperti mercusuar yang
dahulu dibuat oleh Ki Ageng Tapa dengan dibantu oleh orang-orang Cina,
disempurnakan. Di pelabuhan ini dibangun pula bengkel untuk memperbaiki perahu
berukuran besar yang mengalami kerusakan dengan memanfaatkan orang-orang Cina
ahli pembuat Jung yang dahulu dibawa oleh armada Laksamana Cheng Ho.
Bahkan di dekat Muarajati sudah banyak orang asing bertempat tinggal, baik dari
Arab maupun Cina dan pasar rempah-rempah, beras, hewan potong, dan tekstil.
Untuk
mendanai berbagai pembangunan sarana dan prasarana, SGD memberlakukan pajak
yang jumlah, jenis, dan besarnya disederhanakan sehingga tidak memberatkan
rakyat yang baru terlepas dari kekuasaan Kerajaan Pakuan Pajajaran (lihat
Soenarjo, 1996:31-32).
Dalam
tahun-tahun peratama memulai tugas dakwahnya di Cirebon, SGD berperan sebagai
guru agama menggantikan kedudukan Syekh Datuk Kahfi dengan mengambil tempat di
gunung Sembung. Pasambangan yang agak jauh dari istana atau pusat negeri
Cirebon. Setelah beberapa lama bergaul dengan masyarakat ia mendapat sebutan
atau gelar Syekh Maulana Djati yang sehari-harinya disebut Syekh Djati. Selain
di dukuh Sembung-Pasambangan, ia mengajar pula di dukuh Babadan,
sekitar tiga kilometer dari dukuh sembung. Setelah beberapa lama tinggal
di dukuh Sembung, ia memperluas medan dakwahnya hingga ke Banten.
Beberapa
waktu lamanya SGD tinggal di Banten mengajarkan dan mengembangkan syi’ar Islam.
Sepulangnya dari Banten pada 1479, Syarif Hidayatullah dinobatkan menjadi Tumenggung
oleh Pangeran Cakrabuwana dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin
Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah yang disambut oleh para wali tanah Jawa
dengan memberikan gelar Panetep Panatagama Rasul di Tanah Sunda (lihat
Sunardjo, 1983:55-57) ataung Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Djati Purba
Panetep Panatagama Awliya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah (Selendraningrat,
1968:16). Panetep berarti yang menetapkan, panata artinya yang
menata, gama singkatan dari agama, dan rasul yang berarti utusan
(untuk menyebarkan agama) yang bertempat di tanah Sunda. Sulendraningrat
(1972:20) menyebutkan Panetep Panatagama rasul Soerat Sunda yang berkuasa
di seluruh jazirah Sunda yang bersemayam di negeri Caruban untuk menggantikan
Syekh Nurul Djati yang telah wafat.
Apabila
diperhatikan dari permulaan timbulnya nagari Caruban sekitar tahun 1445 yang
diawali oleh sebuah pemukiman kecil yang disebut Kebon Pesisir yang dipimpin
oleh Ki Danusela kemudian berkembang menjadi Desa Caruban Larang yang dipimpin
oleh Pangeran Cakrabuwana yang akhirnya menjadi negeri Cirebon yang dipimpin
oleh seorang tumenggung bergelar Susuhunan pada sekitar pada
tahun 1479, perkembangan ini hanya berlangsung kurang lebih 34 tahun jaraknya
sejak dipimpin oleh kuwu hingga tumenggung/susuhunan.
Melalui
penobatan SGD sebagai panetep panatagama di tanah Sunda mengandung arti
bahwa martabatnya telah sama dengan para wali lainnya. Melalui penobatan ini
secara tidak langsung merupakan pengumuman dari Walisanga kepada para ulama dan
muballigh sepulau Jawa, khususnya yang berada di Jawa Barat, untuk
mengikuti segala petunjuk Syarif Hidayat dalam melaksanakan syi’ar Islam.
Dengan demikian, di tanah Jawa terdapat dua kerajaan Islam, yaitu Pertama,
adalah Kerajaan Demak yang telah terlebih dahulu berdiri, bersamaan dengan
keruntuhan Majapahit sekitar tahun 1478. Raden Fatah adalah Sultan Demak yang
pertama kali diberi gelar oleh para wali dengan gelar Sultan Alam Akbar
al-Fatah Amiril Mukminin.. Kedua adalah kerajaan Cirebon yang
dipimpin oleh Susuhunan Djati sebagai panetep panatagama Rasul, yang
keduanya adalah pemimpin agama Islam sekaligus sebagai raja (Sunardjo,
1983:62). Salana (1995:1) menyebutkan bahwa pada tanggal 12 Sukla Cetramasa
1404 Saka atau 12 Puasa 1404 Saka (1482 Masehi), Maulana Djati sebagai
Tumenggung Cirebon menyatakan berdirinya Kesultanan Cirebon. Dalam
pernyataannya, menurut Salana (1987:179) disebutkan bahwa Cirebon berdiri
menjadi sebuah kerajaan yang merdeka dari kekuasaan kerajaan Pajajaran, dan
akan menjadi kesatuan dari tanah Sunda dalam satu nama kesultanan Pakungwati di
Cirebon. Pengiriman pajak terasi kepada kerajaan Pakuan Pajajaran yang biasanya
diserahkan setiap tahun mlalui Adipati Palimanan, dihentikan. Sejak itu SGD
mulai memperluas daerah kekuasaannya.
Sunan Gunung
Djati adalah seorang propagandis Islam di Jawa Barat (the propagator of
Islam in West Java) (Stevens, 1978:80), dalam aktiviatsnya ia melakukan
perjalanan dakwah kepada penduduk Pulau Jawa bagian Barat untuk menganut agama
Islam. Dimulai dari Cirebon dan sekitarnya, ia melaksanakan tugasnya sebagai panatagama.
Namun dengan mengabaikan hal-hal tersebut, tugas SGD ini dilaksanakan
dengan dasar-dasar dogmatis dan rasional yang menopang kegiatannya, antara lain
keteguhan iman dan sikap takwa yang murni dan ikhlas dalam berjuang untuk
menyebarkan agama Allah sehingga mengangkat derajat dirinya dan layak
menyandang sebutan wali atau kekasih Allah. Al-Qur’an surat Yunus (10) ayat
62-63 dan surat al-Ankabut (29) ayat 69 menegaskan:
(62) Ingatlah,
sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan
tidak pula mereka bersedihhati.
(63) (yaitu)
orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.
Surat
al-Ankabut (29) ayat 69: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
Di luar alasan
dogmatis, ada pula beberapa alasan rasional yang membawa keuntungan bagi posisi
dan kedudukan para wali dalam bentangan kultural sehingga menjadi faktor
penting bagi reputasi mereka. Umumnya para wali itu—termasuk SGD—adalah
keturunan orang-orang terpandang dan bangsawan, serta mempunyai peluang ekonomi
yang baik. Dengan keturunan yang baik, kedudukan yang tinggi sebagai tumenggung,
dan topangan ekonomi yang kuat, serta kesalehan yang dimiliki, SGD melakukan
tugas dakwah menyebarkan agama Islam ke berbagai lapisan masyarakat.
Dukungan-dukungan ini memungkinkannya untuk melakukan mobilitas ke berbagai
tempat dan memudahkan pula menarik warganya untuk menganut ajaran agama yang
dibawanya. Dukungan personal di atas didukung pula oleh aspek dukungan organisasi
kelompok dalam forum Walisanga yang secara efektif dijadikan sebagai organisasi
dan alat kepentingan dakwah sebagai siasat yang tepat untuk mempercepat
tersebarnya ajaran Islam. Menurut Wiji Saksono (1995:104) mengutip al-Syaikh
‘Ali Mahfudz menyatakan bahwa menurut tuntunan Rasul, dakwah harus dibina di
atas empat dasar pokok, yaitu al-huluj balaghah (alasan yang jitu), al-asalibul
hakimah (susunan kata yang bijaksana dan penuh hikmah), al-adabus
samiyah (sopan santun yang mulia), dan as-siyasatul hakimah (siasat
yang bijak). Keempat prinsip dakwah ini pada dasarnya telah diterapkan oleh
wali sanga, termasuk SGD.
Di samping,
SGD diyakini mempunyai ilmu agama mulai dari ilmu fiqh, syari’ah, bahkan
tasawuf–di mana SGD dipandang sebagai pengikut Tareket Kubrawiyah dari
Syekh Jumadil Kubra atau tarekat Syatariyah-, dan mistik, di samping
masalah-masalah kehidupan kemasyarakatan seperti kesehatan, keluarga dan rumah
tangga, ekeonomi, politik dan kenegaraan, serta pendidikan, dan kebudayaan.
Berkenaan dengan masalah kesehatan, SGD mempunyai peran dakwah yang khas dalam
masalah ini. Pengobatan lahir harus iatasi dengan obat-obatan maddiyah (lahiriah)
seperti daun-daun dan akar-akaran, serta kesehatan dan pengobatan batin yang
semula diatasi dengan pengobatan spiritual, kejiwaan, firasat, jampi-jampi, dan
mantra-mantra, oleh SGD diganti dengan do’a-doa (Islam) (lihat Wiji Saksosono,
1995:111). Kecendrungan SGD diyakini mempunyai metode dakwah melalui media
pengobatan karena naskah-naskah lama dalam tradisi Cirebon seluruhnya
memberikan informasi tentang seringnya SGD bertindak sebagai tabib (ahli
pengobatan). Perlu dieliminir bahwa sebagai panatagama, dakwah SGD dalam
kisah-kisah tradisi mengenai pengislaman masyarakat Sunda diwarnai oleh hal-hal
yang aneh, legendaris, dan a-historis. Dalam naskah-naskah tradisi Cirebon
lebih menekankan pada dukungan kesaktian, azimat-azimat yang dimiliki, dan
karamat wali.
Salah satu
bukti keberhasilan dakwah SGD yang masih diajarkan oleh keturunannya melalui
Sultan Kasepuhan dan kerabat keraton Cirebon adalah pengamalan petatah-petitih
SGD, yakni ungkapan atau ucapan yang mengandung ajaran hidup berupa nasihat,
pesan, anjuran, kritik, dan teguran yang disampaikan (atau diajarkan) dalam
keluarga, kerabat, dan putra-putri SGD. Petatah-petitih SGD ini secara umum
mengandung makna yang luas dan kompleks. Efendi (1994:14-34) mengungkapkan
unsur-unsur dari petatah-petitih SGD, yakni petatah-petitih dalam nilai
ketaqwaan dan keyakinan, kedisiplinan, kearifan dan kebijakan, kesopanan dan tatakrama,
dan kehidupan sosial.
Petatah-Petitih
yang berkaitan dengan ketaqwaan dan keyakinan adalah:
- Ingsun titipna tajug lan fakir miskin (aku—SGD—titip tajug dan fakir miskin.
- Yen sembahyang kungsi pucuke pnah (jika salat harus khusu dan tawadhu seperti anak panah yang menancap kuat).
- Yen puasa den kungsi tetaling gundewa (jika puasa harus kuat seperti tali gondewa).
- Ibadah kang tetap (ibadah itu harus terus menerus)
- Manah den syukur ing Allah (hati harus bersyuklur kepada Allah)
- Kudu ngahekaken pertobat (banyak-banyaklah bertobat).
Petatah-Petitih
yang berkaitan dengan kedisiplinan
- Aja nyindra janji mubarang (jangan mengingkari janji)
- Pemboraban kang ora patut anulungi (yang salah tidak usah ditolong)
- Aja ngaji kejayaan kang ala rautah (jangan belajar untuk kepentingan yang tidak benara atau disalahgunakan)
Petatah-Petitih
yang berkaitan dengan kearifan dan kebijakan adalah:
- Singkirna sifat kanden wanci (jauhi sifat yang tidak baik)
- Duwehna sifat kang wanti (miliki sifat yang baik)
- Amapesa ing bina batan (jangan serakah atau berangasan dalam hidup).
- Angadahna ing perpadu (jauhi pertengkaran).
- Aja ilok ngamad kang durung yakin (jangan suka mencela sesuatu yang belum terbukti kebenarannya).
- Aja ilok gawe bobat (jangan suka berbohong).
- Kenana ing hajate wong (kabulkan keinginan orang).
- Aja dahar yen durung ngeli (jangan makan sebelum lapar)
- Aja nginum yen durung ngelok (jangan minum sebelum haus).
- Aja turu yen durung katekan arif (jangan tidur sebelum ngantuk).
- Yen kaya den luhur (jika kaya harus dermawan).
- Aja ilok ngijek rarohi ing wong (jangan suka menghina orang).
- Den bisa megeng ing nafsu (harus dapat menahan hawa nafsu).
- Angasana diri (harus mawas diri)
- Tepo saliro den adol (tampilkan perilaku yang baik).
- Ngoletena rejeki sing halal (carilah rejeki yang halal)
- Aja akeh kang den pamrih (jangan banyak mengharap pamrih).
- Den suka wenan lan suka memberih gelis lipur (jika bersedih jangan diperlihatkan agar cepat hilang).
- Gegunem sifat kang pinuji (miliki sifat terpuji)
- Aja ilok gawe lara ati ing wong (jangan suka menyakiti hati orang).
- Ake lara ati, namung saking duriat (jika sering disakiti orang hadapilah dengan kecintaan tidak dengan aniaya).
- Aja ngagungaken ing salira (jangan mengagungkan diri sendiri).
- Aja ujub ria suma takabur (jangan sombong dan takabur).
- Aja duwe ati ngunek (jangan dendam).
Petatah-Petitih
yang berkaitan dengan kesopanan dan tatakrama:
- Den hormat ing wong tua (harus hormat kepada orang tua).
- Den hormat ing leluhur (harus hormat pada leluhur).
- Hormaten, emanen, mulyaken ing pusaka (hormat, sayangi, dan mulyakan pusaka).
- Den welas asih ing sapapada (hendaklah menyanyangi sesama manusia).
- Mulyakeun ing tetamu (hormati tamu).
Petatah-Petitih
yang berkaitan dengan kehidupan sosial;
- Aja anglakoni lunga haji ing Makkah (jangan berangkat haji ke Mekkah, jika belum mampu secara ekonomis dan kesehatan).
- Aja munggah gunung gede utawa manjing ing kawah (jangan mendaki gunung tinggi atau menyelam ke dalam kawah, jika tidak mempunyai persiapan atau keterampilan).
- Aja ngimami atau khotbah ing masjid agung (jangan menjadi imam dan berkhotbah di Mesjid Agung, jika belum dewasa dan mempunyai ilmu keIslaman yang cukup).
- Aja dagangan atawa warungan (jangan berdagang, jika hanya dijadikan tempat bergerombol orang)
- Aja kunga layaran ing lautan (jangan berlayar ke lautan, jika tidak mempunyai persiapan yang matang).
Petetah
petitih SGD di atas secara umum mengandung makna yang luas dan kompleks,
sehingga dapat berguna, tidak saja untuk anak dan keturunannya, melainkan juga
bagi masyarakat luas. Pada dasarnya ada enam makna yang terkandung dalam
petatah-petitih SGD, yaitu:
- Nasihat tentang perbuatan yang baik dan bijak yang pada akhirnya keturunan sultan dan masyarakat luas diharapkan menjadi manusia yang arif dan bijaksana dalam berhubungan dengan sesamanya serta sabar dan tawakal beribadat kepada Allah Swt.
- Pesan yang secara implisit memberikan arah dan petunjuk bagi banyak orang agar tetap konsisten dalam menjalankan ajaran Islam. Sedangkan secara eksplisit menegaskan ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan oleh anak dan keturunannya.
- Baik secara halus maupun terus terang mengemukakan pendiriannya yang bertentangan dengan hati nurani, rakyat, anak, dan keturunanya. Hal ini mengandung makna teguran yang halus dan keras semata-mata ditujukan agar norma kehidupan tidak dilanggar.
- Mengandung anjuran untuk mentaati aturan yang telah disepakati agar terus dijaga keabadiannya sampai generasi mendatang.
- Agar para pengikutnya mengikuti petatah-petitih untuk tegaknya nilai-nilai Islam.
- Mengandung sangsi berupa hukuman sosial dan moral bagi siapa saja yang melanggar petatah-petitihnya (lihat Effendi, 1994:8-9).
Peran
Sosial-Budaya
SIMBOL-SIMBOL
sosial—dan juga budaya—yang tampak pada masa pemerintahan SGD dapat dilihat
dari berbagai aspek yang sebagian masih kentara pad amasa kini. Siddique
(1977:79-82) memberikan gambaran mengenai simbol-simbol tersebut antara lain
simbol kosmis dan simbol-simbol yang berasal dari ajaran Islam. Simbol kosmis (casmic
symbol) diwujudkan dalam bentuk payung sutra berwarna kuning dengan kepada naga.
Payung ini melambangkan sebagai semangat perlindungan dari raja kepada
rakyatnya. Sementara simbol-simbol yang berasal dari ajaran Islam dibagi ke
dalam empat tingkatan, syari’at, tarekat, hakekat, dan ma’rifat. Tahap
pertama adalah syari’at yang disimbolkan dengan wayang. Wayang adalah
perwujudan dari manusia, dan dalang adalah Allah. Tahap kedua adalah terekat
yang disimbolkan dengan barong. Tahap ketiga adalah hakekat yang
disimbolkan dengan topeng. Tahap keempat adalah ma’rifat yang disimbolkan dengan
ronggeng. Wayang, barong, topeng, dan ronggeng adalah empat jenis dari
pertunjukan kesenian masyarakat Jawa (Cirebon).
Simbol-simbol
di atas seringkali muncul dalam berbagai acara selamatan-selamatan (sedekahan)
yang menjadi tradisi di bulan-bulan tertentu dan perayaan-perayaan keIslaman
yang berasal dari tradisi Walisongo—termasuk SGD. Mungkin sekali bahwa
selamatan-selamatan (sedekahan) itu pada mulanya berasal dari
shadaqah sunnah yang dianjurkan oleh para wali. Tujuannya, tidak lain untuk
menyemarakkan syi’ar Islam sekaligus memperingati hari besar
peristiwa-peristiwa penting dalam Islam.
Menurut Wiji
Saksono (1995:151), shadaqah ini pada masa sekarang, karena telah jauh
dari masa para wali itu, telah menyimpang menjadi sinkretisme yang sesat dan bid’ah.
Masyarakat luas sudah tidak tahu menahu lagi konteks persoalan apalagi
nilai filosofis yang semula dianjurkan dan dijelaskan oleh para Wali.
Sedekahan ini seperti
halnya juga sekateen-an yang dimaksudkan untuk perayaan memperingati maulid
Nabi Muhammad saw. yang biasa dilangsungkan di seluruh kerajaan Jawa.
Menurut Sulendraningrat (1985:85) berasal dari kata sekati atau sukahati,
nama gamelan alat dakwah yang pertama dibawa oleh Ratu Ayu, istri dari
Pangeran sabrang Lor (Sultan Demak-II), setelah wafat suaminya, sebagai benda
kenang-kenangan almarhum suaminya. Ada pula memberi pengertian bahwa gamelan
sekati diartikan sebagai syahadatain (Syahadat dua), yakni dua
kalimat syahadat. Konon ketika orang-orang ingin menonton gamelan,
mereka diperkenankan asal mengucapkan dua kalimat syahadat.
Perayaan
sekaten ini biasanya dipusatkan di alun-alun ibukota kerajaan Islam yang dapat
dinikmati bersama khalayak ramai pada umumnya. Perayaan sekaten ini dimulai
tujuh hari sebelum tiba peringatan hari Maulid Nabi Muhammad saw. Yang tepatnya
jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awal. Sekaten diakhiri dengan upacara gerebeg,
yaitu upacara yang berpuncak pada sratun nabiy (pembacaan riwayat Nabi
Muhammad saw.) dan sedekah sultan, yakni membagi-bagi makanan hadiah
sultan di Mesjid Agung. Acara ini dihadiri oleh sultan dan pembesar-pembesar
kerajaan. Sekaten ini satu-satunya upacara dan perayaan terbesar karena
pergelarannya merupakan upacara memperingati hari lahir Nabi Muhammad saw.
Dalam saat-saat gerebeg inilah, adipati-adipati, raja-raja muda,
bupati-bupati, dan pembesar-pembesar wilayah kerajaan diterima menghadap Sultan
untuk menunjukkan sikap bakti dan hormat taatnya kepada Sultan sembari mengayu
bagja pada hari mulia lagi meriah itu (Lihat Saksono, 1995:150-151).
Upacara
peringatan maulid Nabi Muhammad saw. di keraton Cirebon menurut
Sulendraningrat (1985:83-84) dimulai diadakan—dan dilaksanakan secara
besar-besaran—ketika pengangkatan SGD sebagai wali kutub pada tahun 1470
M. Perayaan ini di kalangan masyarakat Cirebon dikenal dengan iring-iringan panjang
jimat.
Aktivitas
perayaan keagamaan (Islam) yang dilakukan oleh kerabat karaton menunjukkan
bahwa SGD dan keturunannya dalam struktur sosial—dengan mengutip pendapat
Geertz dalam taksonomi santri, abangan, dan priyayi—oleh Siddique (1977:91)
dimasukkan ke dalam anak bangsa kaum santri sebagai legitimasi dari
peran, fungsi, dan kedudukan esensial SGD sebagai panatagama.
Memang,
selama abad ke-16, terjadi suatu transformasi luar biasa di bidang budaya di
kota-kota pelabuhan di Jawa, yang ketika itu merupakan pusat-pusat kakayaan dan
ide-ide yang menarik minat orang-orang Jawa yang berbakat. Masjid-masjid dan
makam-makam suci dibangun dengan paduan batu-bata dan seni hias dengan
pilar-pilar raksasa dari kayu meniru pedopo Jawa untuk keperluan ritual Islam
(Reid, 1988:175).
Demikian pula, Cirebon menjadi pusat penyebaran Islam di
pulau Jawa bagian barat sekaligus menjadi pusat peradaban Islam yang memiliki
beberapa karekter antara lain:
- Pertumbuhan kehidupan kota bernafaskan Islam dengan pola-pola penyusunan masyarakat secara hirarki sosial yang kompleks.
- Berkembangnya arsitektur baik sakral maupun profan, misalnya mesjid agung Cirebon (sang Cipta Rasa), keraton-keraton (kasepuhan, kanoman, Kacerbonan, dan Kaprabonan), dan bangunan sitingil yang mengadapatasi rancang bangun dan ornamen lokal termasuk pra-Islam.
- Pertumbuhan seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan karya-karya kaligrafi Islam yang sangat khas Cirebon yang antara lain memperlihatkan hadirnya anasir antropomorfis yang tidak lazim dalam seni rupa Islam.
- Perkembangan bidang kesenian lainnya seperti tari, membatik, musik, dan berbagai seni pertunjukkan tradisional bernafaskan Islam, ragam hias awan khas Cirebon, dan lain-lain.
- Pertumbuhan penulisan naskah-naskah keagamaan dan pemikiran keagamaan yang sisa-sisanya masih tersimpan di keraton-keraton Cirebon dan tempat-tempat lain di Jawa Barat—seperti Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang dan Museum Cigugur Kuningan—yang sampai sekarang belum seluruhnya dipelajari secara seksama.
- Tumbuhnya tarekat aliran syatariyah yang kemudian melahirkan karya-karya sastra dalam bentuk serat suluk yang mengandung ajaran wujudiah atau martabat yang tujuh. Tradisi serat suluk ini kemudian amat berpengaruh pada tradisi sastra tulis serupa di Surakarta.
- Tumbuhnya pendidikan Islam dalam bentuk pesantren di sekitar Cirebon, Indramayu, Karawang, Majalengka, dan Kuningan (Ambary, 1998:109-110).