Posted by : Unknown Saturday, March 4, 2017


Saridin bukan tidak sadar dan bukan tanpa perhitungan kenapa dia memilih nyantri ke pondoknya Sunan Kudus. Saridin itu tipe seorang murid yang cerdas dan mengerti apa yang dilakukannya.
Harap dimengerti murid itu bukan padanan kata dari siswa atau student, sebagaimana manusia zaman modern memaknainya secara tolol. Memang manusia dalam kebudayaan dan peradaban modern kerjanya slalu melawak. Mereka lucu, dan bahkan sangat lucu karena mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka lucu.
Coba lihat saja, di duhia modern ada namanya universitas, wah gagahnya bukan main lembaga pendidikan tertinggi ini. Penuh gengsi dan keangkuhan. Kalau sudah lulus darinya, orang disebut 'sarjana'.
Padahal sesungguhnya, saridin membuktikan sendiri bahwa para pelaku lembaga pendidikan dunia modern ini ndangel atawa ngelawak. Mereka pura-pura bikin universitas dengan pemahaman bahwa yang diproduksi adalah manusia universal.
Padahal nanti para sarjana keluaran universitas itu kualitas dan cakrawala pandangannya tak lebih dari manusia fakultatif. Anak didik yang usianya sudah dewasa ini tetap saja kanak-kanak sampai tua, karena sudah bertahun-tahun di universitas masih saja terbuntu pada kualitas fakultatif atau bahkan jurusan.
Apa begitu namanya, kata Saridin, kalau bukan ndangel. Kalau remaja-remaja itu berangkat ke universitas, ngakunya pergi kuliah. Istilah itu dari bahasa Arab: Kulliyah. Artinya, suatu keberangkatan intelektual, mental, spritual dan moral menuju taraf kosmopolitalisme.
Segi lawakannya menurut saridin terletak pada kenyataan bahwa sebenarnya mereka bukan berangkat kuliah, melainkan berangkat juz'iyyah. Yah yang diterangkan di atas tadi 'juz'iyyah' itu artinya berangkat memahami sesuatu secara sektoral, secara fakultatif dan parsial.
Seandainya mereka bukan pelawak, tentu setiap keberangkatan juz'iyyah akan selalu pada akhirnya diorientasikan atau dikembalikan lagi ke spektrum Kulliyah atau universitas. Tapi karena tradisi demikian tidak menjadi habitat utama budaya pendidikan manysia modern, maka hasilnya adalah kesempitan.

Kalau pembicaraan kita sampai pada soal 'dasi' atau 'sepatu', yang merupakan ciri-ciri teroenting dari eksistensi manusia modern, lebih terasa lagi lawakanya. Kalau sudah mengingat itu, saridin tersengguk-sengguk karena tawa dan tangisnya menjadi satu keluar dari mulut matanya.
Dasi itu menurut pemahaman saridin adalah benda yang benar benar tidak bisa dipahami apa kegunaannya, kecuali untuk siap-siap kalau sewaktu-waktu pemakainya ingin kendat atau bunuh diri dengan cara menggantung diri atau menjerat leher.
Kebudayaan manusia modern selalu menjelaskan dasi dalam konteks sopan santun, kepribadian kelas menengah, simbol gengsi dan lain sebagainya.  Itu semua pada penglihatan saridin benar-benar abstrak. Bagaimana mungkin kepribadian dikaitkan atau apalagi ditentukan oleh seutas kain yang diikatkan mengelilingi leher.
Benar-benar sangat lucu,. Saridin sendiri khawatir Tuhan bisa geleng-geleng kepala karena kelucuan dasi ini tingkatnya benar-benar rendah. Kepribadian itu masalah software, soal batin, mutu nilai yang rohaniyah sifatnya. Kok dilawakkan melalui seutas dasi. Alangkah tidak bermutunya lawakan manusia modern.

Apalagi masalah sepatu. "Pakailah sepatu" menirukan seseorang yang pernah didengarnya di abad 20, "agar kakimu terhindar dari duri dan kerikil tajam".
Padahal para pemakai sepatu justru cenderung menolak untuk berjalan di jalanan. Mereka justru lebih sering melangkahkan kaki di lantai yang beralaskan karpet tebal dan empuk.
Lantas seseorang melanjutkan, " tapi srbelum pakai sepatu, pakailah dulu kaos kaki, untuk melindungi kakimu dari sepatu agar tidak melicet."
Di sinilah menurut study saridin, puncak lawakanya. Orang yang disuruh pakai sepatu dan kaos kaki pasti kebingungan, "jadi sebenarnya sepatu ini melindungi kaki ataukah mengancam kaki, sehingga kaki harus dilapisi dengan kaos kaki?"
Oleh karena itu, sejak abad 16 saridin sudah sadar untuk tak mau diranjau oleh kebodohan yang canggih atau kepandaian yang ndangel versi kebudayaan modern. Maka ia mateg ati menjadi murid.
'Murid' itu kata subyek yang berasal dari kata kerja arada, yaridu,muridan. Artinya: seseorang yang berkehendak. Ingat kata iradat Tuhan? Artinya kehendak Tuhan.
Saridin menjadi muridnya Sunan Kudus karena ia sendiri yang berkehendak untuk itu. Juga ia sendiri yang berkehendak, atau menjadi subyek yang menghendaki segala macam yang menyangkut ilmu dan pengalaman hidup yang akan dialaminya dari sang Sunan.
Dengan kata lain sesungguhnya saridin sendiri yang menyusun kurikulum kesantriannya. Itu namanya murid. Kalau seseorang datang ke pesantren atau ke sekolah lantas pasrah bongkokan dan mulutnya mengangga melulu menunggu apasaja terapan kurikulum yang telah disediakan, itu namanya murad. Artinya orang yang kehendaki.
Memang sih pesantrenya Sunan Kudus sudah memiliki kurikulum, sistem pendidikan dengan metode pengajaran tersendiri, tetapi itu sekedar bahan dan masukan bagi saridin. Si saridin sendiri yang kemudian mengatur dan menguasai kurikulum itu didalam dirinya sendiri.
Jadi hakekatnya pesantren saridin terletak di dalam otaknya sendiri.  Universitas saridin berlangsung didalam metode dan proses belajar atau kaifiyah intelektual-spritual saridin sendiri. Itulah sebabnya ia sungguh-sungguh seorang murid.

Menurut pandangan saridin, sikap menjadi murid adalah perwujudan demokrasi pendidikan. Kalau ia hanya murad, berarti ia menyediakan diri untuk di tindas.
Tapi jangan lupa pengetahuan tentang demokrasi itu pasti saridin ambil dari dunia modern juga. Jadi jangan seratus persen percaya kalau saridin begitu mbagusi ketika menertawakan kebudayaan modern. Sebab sesungguhnya ia juga banyak belajar kepada segala sesuatu mengenai modernitas dan modernisme.
Bahkan ada bulan bulan dimana ia salah menerapkan prinsip demokrasi ketika mengikuti pengajaran dan pendidikan yang diselenggarakan oleh Sunan Kudus.
Ketika sang Sunan meminta saridin membuktikan hafalan Qur'annya, satu juz saja, didepan para santri lainnya, dengan mantap ia menjawab "Sunan, ada hak asasi saya untuk memilih apakah saya perlu menghapalkan Qur'an atau tidak."
Demokrasi, bagi saridin Kala itu adalah bertitik berat pada prinsip hak asasi manusia.

Ketika ia diminta untuk mempraktekkan jurus jalan panjang ketika dilatih silat, saridin juga menjawab: "saya sendiri lah yang berwenang mempraktekkan jurus itu sekarang. Tidak seorang pun dapat memaksa saya..."
Tapi sebelum selesai kalimatnya, Sunan Kudus mendadak menghampirinya dan menyerbunya dengan berbagai jurus. Saridin kepontal-pontal, pontang-panting, terjatuh-jatuh, terluka dan keseleo.
"Kalau kamu tidak sanggup menjadi pendekar, jangan bersembunyi di balik kata demokrasi!" Kata Sunan Kudus sambil mencengkram leher saridin yang terengah-engah.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Fauzan Khan - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -