Archive for February 2017
Ketiga
sumber ajaran ini merupakan satu rangkaian kesatuan dengan urutan yang tidak
boleh dibalik.
Sumber Ajaran Agama Islam
Pengertian
Orientalis
Sebelum
mengetahui tentang kajian para orientalis terhadap hadist. Kita harus memahami
terlebih dahulu apa yang dinamakan orientalis itu sendiri. Apakah orientalis
itu? Secara etimologi ‚orientalis‛ berasal dari bahasa Prancis yaitu orient
yang berarti timur, jika dipandang dalam aspek geografis maka orient diartikan
sebagai dunia timur, kemudian apabila dipandang dalam aspek etnografis berarti
bangsa-bangsa timur.[1]
Dalam bahasa Inggris ‚orientalis‛ atau orient berasal dari kata oriental yang
memiliki arti hal-hal yang bersifat timur, orang timur atau Asia.[2] Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
‚orientalis‛ diartikan sebagai ahli bahasa, kesusasteraan, dan kebudayaan
bangsa-bangsa timur.[3]
KAJIAN ORIENTALIS TERHADAP HADIST
PERSPEKTIF KEWALIAN
Kewalian Sunan Gunung Jati
MEMBICARAKAN
tokoh panutan suatu kelompok masyarakat tertentu, merupakan sesuatu yang tetap
menarik, sekaligus menantang. Kian sedikit sumber yang tersedia, akan kian
bertambah pula tantangan yang dihadapi. Misalnya saja, benarkah embaran yang
tersaji dalam berbagai sumber yang keshahihannya masih perlu disawalakan lebih
lanjut.
Arkeologis Kesejarahan dan Kesastraan Sunan Gunung Djati
Peran Sunan
Gunung Djati dalam Dakwah dan Sosial Budaya
DALAM
kosmologi Jawa, seperti halnya banyak kosmologi Asia Tenggara lainnya, menurut
van Bruinessen (1999:42), pusat-pusat kosmis, titik temu antara dunia fana
dengan alam supranatural, memainkan peranan sentral. Kuburan para leluhur,
gunung, gua, dan hutan tertentu serta tempat “angker” lainnya tidak hanya
diziarahi sebagai “ibadah” saja tetapi juga dikunjungi untuk mencari ilmu (ngelmu)
alias mencari kesaktian dan legitimasi politik. Setelah orang Jawa mulai masuk
Islam, Makkah lah yang, tentu saja, dianggap sebagai pusat kosmis utama—selain
untuk berziarah, ibadah haji, juga menuntut ilmu agama Islam, meskipun penuh
dengan berbagai resiko. Sebetulnya, pada masa itu ada berbagai pusat keilmuan
lain yang tidak kalah dibandingkan dengan Mekkah dan Madinah, tetapi orang Asia
Tenggara mencarinya di tanah suci ini.
Dakwah Sunan Gunung Jati
DALAM tulisan ini akan dikemukakan suatu analisis historis tentang
identitas Sunan Gunung Djati, salah seorang wali dari Wali Sanga, yang menjadi
pendiri Kesultanan Cirebon dan Banten, sekaligus penyebar agama Islam di Jawa
Barat.
Perjalanan WaliSongo
--Maha Siswa Gokil---
Diruang kuliah, seorang dosen senior sedang memarahi mahasiswanya:
Dosen: "menjawab saja tidak becus, eh malah bercanda dan ngobrol seenaknya. Menjawab soal aja juga ga ada yg tahu, jadi percuma aja kuliah ini,Hayo Sekarang yang merasa dungu BERDIRI !!!! " sang dosen membentak. Beberapa menit suasana hening. Tiba-tiba dari bangku belakang seorang mahasiswa berdiri. Dosen: "Jadi kamu yakin betul, kamulah si dungu itu ??? " " Bukan begitu pak, saya cuma tidak tega melihat Bapak berdiri sendiri."
Baca Juga : Humor pilkada dan pilkB
Diruang kuliah, seorang dosen senior sedang memarahi mahasiswanya:
Dosen: "menjawab saja tidak becus, eh malah bercanda dan ngobrol seenaknya. Menjawab soal aja juga ga ada yg tahu, jadi percuma aja kuliah ini,Hayo Sekarang yang merasa dungu BERDIRI !!!! " sang dosen membentak. Beberapa menit suasana hening. Tiba-tiba dari bangku belakang seorang mahasiswa berdiri. Dosen: "Jadi kamu yakin betul, kamulah si dungu itu ??? " " Bukan begitu pak, saya cuma tidak tega melihat Bapak berdiri sendiri."
Baca Juga : Humor pilkada dan pilkB
Heboohh Suara Sule mirip Iwan Fals Nyanyi lagu IBU
<iframe width="560" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/ecuZg_2MxlA" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>
Cerita pendek lucu
Satu Jiwa dalam Tubuh Berbeda, Itulah Sahabat !
Periksalah kembali persahabatan yang pernah anda rajut. Apakah masih terbentang disana? Atau anda telah melupakan-nya jauh sebelum ini. Bekerja keras dan meniti jalan karier bukan berarti memisahkan anda dari persahabatan.
Beberapa orang mengatakan bahwa menjadi pemimpin itu berteman sepi; selalu mengerjakan apapun sendiri. Memang pohon yang menjulang tingi berdiri sendiri. Perlu yang rendah tumbuh bersemak-semak. Demikianlah hidup yang ingin anda jalani? Bukan.
Jangan kacaukan karier dengan kehidupan yang semestinya. Persahabatan merupakan bagian dari kehidupan anda. Binalah persahabatan. Anda akan merasakan betapa kayanya hidup anda. berbagi kesedihan pada sahabat, dapat mengurangi kesedihan. Berbagi kebahagiaan pada sahabat, memperkokoh kebahagiaan.
Orang bijak bilang bahwa sahabat adalah satu jiwa dalam tubuh yang berbeda. Dan sahabat anda yang terdekat adalah keluarga anda. Barangkali, itulah mengapa bersahabat meringankan beban anda, karena di dalam persahabatan tidak ada perhitungan.
Di sana anda belajar menghindari hal-hal yang tidak anda setujui, dan senantiasa mencari hal-hal yang anda sepakati. Itu juga mengapa persahabatan adalah kekuatan. Sebagaimana kata pepatah, hidup tanpa teman, mati pun sendiri.
Satu Jiwa Sahabat
Sejarah Agama Islam Di Dunia
Islam muncul di Semenanjung Arab pada abad 7 Masehi ketika Nabi Muhammad saw mendapat ayat-ayat Allah s.w.t. Setelah kematian Rasullullah s.a.w. Islam berkembang ke Samudra Atlantik di Barat dan Asia Tengah di Timur. Seiring waktu, Muslim dibagi dan ada banyak kerajaan Islam berkembang lainnya.
Namun, munculnya Islam sebagai kerajaan kerajaan Umayyah, Abbasiyah, kerajaan Seljuk / Turki Seljuk, Ottoman Empire, Mughal Empire, India, dan Kesultanan Malaka telah menjadi kerajaan yang kuat. Tempat yang bagus untuk belajar ilmu pengetahuan telah menyadari sebuah peradaban Islam yang agung.Banyak ahli dalam ilmu sains dan sebagainya muncul dari negara-negara Muslim, terutama dizaman emas Islam.
Pada abad ke-18 dan ke-19 Masehi, banyak daerah Islam jatuh ke tangan penjajah Eropa. Setelah Perang Dunia I, Kekaisaran Ottoman runtuh kerajaan Islam terakhir menyembah bumi.
Pada abad ke-18 dan ke-19 Masehi, banyak daerah Islam jatuh ke tangan penjajah Eropa. Setelah Perang Dunia I, Kekaisaran Ottoman runtuh kerajaan Islam terakhir menyembah bumi.
Nabi Muhammad S.A.W
Semenanjung Arab sebelum kedatangan Islam adalah daerah yang sangat terbelakang. Banyak orang Arab yang penyembah berhala dan pengikut lain dari agama Kristen dan Yahudi. Mekkah saat itu adalah tempat suci bagi orang-orang Arab. karena di tempat-tempat ini ada berhala agama mereka dan ada juga Sumur Zamzam, dan yang paling penting adalah Ka’bah.
Nabi Muhammad SAW lahir di Makkah pada Tahun Gajah adalah pada taggal 12- Rabi’ul Awal atau pada tanggal 21 April (570 atau 571 Masehi). Nabi Muhammad adalah seorang yatim piatu setelah ayahnya Abdullah bin Abdul Muthalib meninggal ketika ia masih dalam kandungan dan ibunya Aminah binti Wahab meninggal ketika ia berusia 7 tahun
Kemudian ia dibesarkan oleh kakeknya Abdul Muthalib. Setelah kakeknya meninggal ia dibesarkan dengan baik oleh pamannya, Abu Thalib. Nabi Muhammad kemudian menikah dengan Siti Khadijah ketika ia berusia 25 tahun. Dia memiliki kambing dan menjadi pengembala kambing.
Nabi Muhammad pernah diangkat menjadi hakim. Pada saat ia berusia 35 tahun, pada saat banjir di kota Mekah, ia tidak suka suasana kota Mekah yang dipenuhi dengan orang-orang yang memiliki masalah sosial yang tinggi. Selain orang-orangnya menyembah berhala, orang-orang Mekah pada waktu itu juga mengubur bayi-bayi perempuan. Nabi Muhammad menghabiskan banyak waktu degan menyendiri di gua Hira untuk mencari ketenangan dan memikirkan Mekkah.
Ketika Nabi Muhammad berumur 40 tahun, ia dikunjungi oleh Malaikat Jibril. Setelah itu, ia mengajar ajaran Islam secara diam-diam kepada orang-orang terdekat yang dikenal sebagai “as-Sabiqun al-Awwalun (yang pertama masuk Islam)” dan kemudian secara terbuka kepada seluruh penduduk Mekkah, setelah turun wahyu al quran surat al Hijr ayat 94.
Di tahun 622, Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya pindah dari Mekah ke Madinah. peristiwa ini dinamakan Hijrah. Sejak itu dimulai kalender Islam atau kalender Hijriyah.
Warga Mekkah dan Madinah berjuang dengan Nabi Muhammad saw. dengan hasil yang baik meskipun ada di antara umat Islam yang tewas. Muslim akhirnya menjadi lebih kuat, dan menaklukkan kota Mekah. Setelah Nabi Muhammad s.a.w. wafat, seluruh Jazirah Arab di bawah kendali Islam.
Perkembangan Agama Islam Di Dunia
Dalam sejarah umum Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad telah berkembang secara luas di seluruh dunia. Bani Abbasiyah, Bani Umayyah, dan Kekaisaran Utsmaniyah dapat dikatakan untuk menghubungkan daya dari empat khalifah pertama Islam setelah Khulafaur Rasyidin.
Indonesia telah mengenal Islam sejak abad pertama 7 masehi atau Hijriyah, meskipun frekuensinya tidak terlalu besar hanya melalui perdagangan dengan para pedagang-pedangang muslim yang berlayar ke Indonesia untuk berhenti untuk beberapa waktu. Pengenalan Islam lebih baik, khususnya di Semenanjung Melayu dan Nusantara, yang berlangsung hingga beberapa abad kemudian.
Khulafaur Rasyidin
- 632 – Wafatnya Nabi Muhammad dan Abu Bakar diangkat sebagai Khalifah. Usamah bin Zaid memimpin penyerbuan ke Syria. Perang melawan orang yang murtad, yaitu Bani Tamim dan al-Kadzab Musailamah. Dan
- 633 M – Mulailah pengumpulan Al Quran.
- 636 M – Perang di tentara Romawi sehingga Ajnadin atas Suriah, Mesopotamia, dan Palestina bisa ditaklukkan. Penaklukan Kadisia atas tentara Persia.
- 661 M – Ali bin Abi Thalib meninggal karena dibunuh. Pemerintah Khulafaur Rasyidin berakhir. Hasan (cucu dari Nabi Muhammad) kemudian diangkat sebagai Khalifah ke-5 Muslim (umat muslim) menggantikan Ali bin Abi Thalib.
- 661 M – Setelah sekitar 6 bulan Khalifah Hasan memerintah, dua kelompok besar, yaitu kekuatan Islam pasukan Hasan Khalifah di Kufah dan pasukan Muawiyah di Damaskus siap untuk memulai pertempuran besar.
Ketika pertempuran akan pecah, Muawiyah kemudian menawarkan rencana perdamaian untuk Khalifah Hasan kemudian dengan mempertimbangan persatuan Umat Muslim, rencana perdamaian diterima dengan persyaratan oleh Khalifah Hasan kepada Muawiyah. disampaikan oleh Khalifah Hasan kepada Muawiyah.
Tahun itu dikenal sebagai Tahun Perdamaian / Unity (Aam Jamaah) dalam sejarah umat Islam. Sejak saat itu Muslim Khalifah Muawiyah diikuti oleh sistem yang merupakan kerajaan Islam pertama yaitu pergantian pemimpin (Raja Islam) dilakukan untuk generasi (Daulah Umayyah) dari Umayyah Daulah kemudian terus kerajaan Islam yang selanjutnya disebut yaitu pergantian pemimpin.
Kerajaan Bani Ummaiyyah
- 661 M – Muawiyah menjadi khalifah dan mendirikan sebuah Kerajaan Bani Ummaiyyah.
- 669 M – Mempersiapkan peperangan untuk melawan Konstantinopel
- 677 M – Melakukan penyerangan peperangan Konstantinopel yang pertama kali tetapi masih gagal.
- 679 M – Melakukan penyerangan peperangan Konstantinopel yang kedua tetapi gagal karena Muawiyah meninggal pada tahun 680.
- 700 M – Tentara muslim melawan Afrika Utara dari kaum Barbar .
- 717 M – Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah. Pembaharuan yang hebat dijalankan.
- 725 M – Tentara muslim melawan Nimes di Perancis.
- 749 M – Kekalahan tentera Ummayyah di Kufah, Iraq ditangan tentara Abbasiyyah.
- 750 M – Damaskus ditaklukkan oleh tentera Abbasiyyah. Dan runtuhnya Kerajaan Bani Ummaiyyah.
Kerajaan Bani Abbasiyyah
- 752 M – Berdirinya sebuah Kerajaan Bani Abbasiyyah.
- 763 M – Pendirian kota Baghdad. Kekalahan tentara Abbasiyyah di Spanyol.
- 809 M – Wafatnya Harun ar-Rasyid. Al-Amin dan diangkat menjadi khalifah.
- 814 M – Terjadinya perang saudara antara Al-Amin dan Al-Ma’mun. Al-Amin yang terbunuh dan Al-Ma’mun yang menjadi khalifah.
- 1055 M – Penyerangan tentara Turki terhadapa Baghdad..
- 1091 M – Berakhirnya pemerintahan islam di Sicilia karena penyerangan Bangsa Norman.
- 1095 M- 1099 M – Dimulai pertama kalinya perang Salib dan Tentara Salib mengalahkan Baitul Maqdis. Dan mereka membunuh semua penduduknya.
- 1144 M – Nuruddin Zengi mengalahkan Edessa dari tentera Kristian. Perang Salib kedua berlaku.
- 1187 M – Salahuddin Al-Ayubbi mengalahkan Baitulmuqaddis dari tentera Salib. Perang Salib ketiga berlaku.
- 1258 M – Pasukan Mongol melakukan penyerangan dan menghancurkan Baghdad. Ribuan penduduk Baghdad terbunuh. Runtuhnya Baghdad. Berakhirnya pemerintahan Kerajaan Bani Abbasiyyah-Seljuk.
- 1260 M – Kebangkitan Umat Muslim (islam). Kerajaan Bani Mamluk di Mesir (merupakan sebuah pertahanan Umat Muslim yang ke 3 terakhir setelah Makkah & Madinah) dari pimpinan SultanSaifuddin Muzaffar Al-Qutuz yang mengalahkan pasukan Mongol di dalam sebuah peperangan di Ain Jalut.
Kerajaan Turki Utsmani
- 1299 M – Sebuah pemerintahan yang kecil di Turki di bawah Turki Seljuk didirikan di barat Anatolia.
- 1301 M – Osman I menyatakan bahwa dirinya sebagai seorang sultan. Dan berdirinya Kerajaan Turki Usmani.
- 1402 M – Timurlane, Raja Tartar (Mongol) menghabiskan tentera Uthmaniyyah di Ankara.
- 1451 M – Sultan Muhammad al-Fatih menjadi seorang pemimpin pemerintah.
- 1687 M – Wafatnya Sultan Muhammad IV.
- 1804 M – Kebangkitan dan pemberontakan bangsa Serbia yang pertama.
- 1815 M – Kebangkitan dan pemberontakan bangsa Serbia kedua.
- 1826 M – Kekalahan tentera laut Uthmaniyyah di Navarino. Dan pembunuhan secara massal tentara elit Janissari.
- 1830 M – Kemerdekaan Greece dan berakhirnya peperangan.
- 1853 M – Awal Perang Crimea.
- 1856 M – Berakhirnya Perang Crimea.
- 1912 M dan 1913 M – Perang Balkan pertama dan Perang Balkan kedua
- 1924 M – Khalifah dihapus.Dan berakhirnya sebuah pemerintahan Kerajaan Turki Utsmani.
Agama islam pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan, pendidikan dan lain-lain.
Tokoh penyebar agama islam di Indonesia adalah walisongo antara lain,
Tokoh penyebar agama islam di Indonesia adalah walisongo antara lain,
- Sunan Ampel
- Sunan Bonang
- Sunan Muria
- Sunan Gunung Jati
- Sunan Kalijaga
- Sunan Giri
- Sunan Kudus
- Sunan Drajat
- Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Perkembangan Islam Dunia
Perlawanan Kaum Santri, 25 Pebruari 1944
“I HAVE nothing to offer but blood, toil, tears, and sweat.” Itulah “kata-kata bersejarah” yang diucapkan Winston Churchill
pada tanggal 13 Mei 1940, tiga hari setelah dia diangkat menjadi
perdana menteri Inggris. Kata-kata itu ternyata memberi spirit yang luar
biasa kepada para pejuang Inggris untuk memenangkan Perang Dunia ke-2.
Empat tahun kemudian, di tempat nun jauh di Timur, di mana jam
menunjuk angka enam jam lebih cepat, “kata-kata bersejarah” itu menjadi
fakta sejarah. Pada tanggal 25 Februari 1944, yang jatuh pada hari
Jumat, di sebuah kampung di daerah
Singaparna, Tasikmalaya, terjadi sebuah peristiwa heroik. Ratusan santri
terlibat dalam pertempuran dan perkelahian jarak dekat. Namun, dua
kekuatan itu jelas tidak seimbang. Senapan mesin, pistol, dan granat
pasukan Jepang (meskipun personelnya adalah bangsa kita juga) berhadapan
dengan pasukan K.H. Zaenal Mustofa yang
hanya bersenjatakan bambu runcing, pedang bambu, dan batu. Hanya dalam
waktu sekitar satu setengah jam saja, pertempuran itu berakhir tragis.
Para santri yang gugur dalam pertempuran berjumlah 86 orang.
Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di
penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Hilang tak tentu
rimbanya (kemungkinan besar dibunuh tentara Jepang), termasuk K.H. Zaenal Mustofa,
sebanyak 23 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38
orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak
10 orang. Para santri ini tidak memiliki apa-apa untuk memperjuangkan
kemerdekaan negeri ini, kecuali darah, kerja keras, air mata, dan
keringat, seperti kata Winston Churchill di atas.
Sebagai penghargaan atas jasa dan pengorbanannya, pemerintah mengangkat K.H. Zaenal Mustofa sebagai pahlawan nasional dengan SK Presiden No. 064/TK/1972.
Makna
PERISTIWA heroik dan tragis itu telah berlalu enam dasawarsa lebih.
Apakah gunanya mengungkit-ungkit kembali peristiwa yang menyedihkan itu?
Manakala sebuah kisah sejarah ditampilkan kembali, tentu bukan
sekadar untuk mengenang sesuatu yang sudah lewat, atau mengenang
gugurnya para pahlawan. Sejarah berfungsi edukatif, agar manusia
sekarang mau belajar dari masa lalu, meneladani apa yang baik,
meninggalkan yang tidak baik, memetik hikmah suatu peristiwa, menghargai
jasa mereka yang berjuang tanpa pamrih, belajar dari kegagalan,
kekalahan, dan mencintai negeri.
Kalau saja kita tahu, bagaimana kemerdekaan negeri ini diperjuangkan,
sudah bisa diprediksi bahwa paling tidak kita akan memiliki rasa cinta
tanah air, memiliki jiwa patriotis sehingga kita tidak akan meruntuhkan
negeri yang sudah dibangun selama 63 tahun ini, dengan cara
menggerogotinya beramai-ramai.
Salah satu peristiwa heroik yang perlu kita ketahui adalah usaha para santri pimpinan K.H. Zaenal Mustofa
melawan fasisme Jepang, yang terjadi pada tanggal 25 Februari 1944 itu.
Mungkin sudah banyak yang mengetahui kisah ini, namun tidak ada
salahnya untuk ditampilkan kembali.
Santri Sukamanah
K.H. ZAENAL MUSTOFA yang dilahirkan pada
tahun 1899 di Kampung Bageur, Desa Cimerah (sekarang bernama Desa
Sukarapih), Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, sejak tahun
1927 mendirikan Pesantren Sukamanah. Kiai yang menjadi wakil ketua NU
Kabupaten Tasikmalaya ini, dalam setiap dakwahnya, selalu menyerang
kebijakan-kebijakan politik kolonial Belanda dengan kata-kata yang
pedas. Oleh karena mata-mata penjajah ada di mana-mana, akibatnya, kiai
yang telah belajar di berbagai pesantren selama 17 tahun ini sering
mendapat peringatan. Kadang-kadang pidatonya dilarang untuk dilanjutkan,
apabila ia tengah mengupas kekejaman serta kepalsuan politik kolonial
Belanda.
Tanggal 17 November 1941, K.H. Zaenal Mustofa, bersama Kiai Rukhiyat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei
ditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut rakyat, untuk
memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka dipenjarakan di
Tasikmalaya selama satu hari, kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin
di Bandung.
Setelah dibebaskan, K.H. Zaenal Mustofa tidak berubah. Kembali ia berdakwah yang isinya jelas-jelas menentang penjajah. Pada akhir bulan Februari 1942, ia dan Kiai Rukhiyat
kembali ditangkap dan ditahan di penjara Ciamis. Kedua ulama ini
menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya yang pertama.
Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan
Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru
ini, K.H. Zaenal Mustofa dibebaskan dari
penjara, dengan harapan ia akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan
ambisi fasisnya, yaitu menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia
Timur Raya. Akan tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah
terwujud, karena K.H Zaenal Mustofa dengan
tegas menolak. Bahkan kepada para santrinya, ia memperingatkan bahwa
fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda.
Suatu ketika, semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di
alun-alun dan semua diwajibkan menghormat (seikerei) ke arah Tokyo. Di
bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa melakukan perintah itu,
hanya K.H. Zaenal Mustofa yang tetap membangkang. Bahkan, ia berkata kepada Kiai Rukhiyat
yang hadir pada waktu itu bahwa perbuatan tersebut musyrik. Kepada para
santri dan pengikutnya, ia juga mengatakan, lebih baik mati ketimbang
menuruti perintah Jepang.
Tindakan pemerintah pendudukan Jepang yang juga sangat memberatkan
rakyat adalah, penerapan politik beras atau kewajiban menyerahkan beras
kepada Jepang yang sangat merugikan rakyat. Rakyat kelaparan. Bahkan
banyak yang menderita busung lapar. Selain itu, banyak kaum wanita
ditipu. Mereka dijanjikan akan disekolahkan di Tokyo sehingga banyak
yang mendaftarkan diri, ternyata mereka dikirim ke daerah-daerah
pertempuran seperti Birma dan Malaya dan dijadikan sebagai wanita
penghibur tentara-tentara Jepang (jugun ianfu).
Akhirnya, K.H. Zaenal Mustofa memutuskan
untuk melakukan perlawanan terbuka terhadap kekejaman fasisme Jepang.
Bersama para santrinya ia merencanakan suatu gerakan yang akan dilakukan
pada tanggal 25 Februari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan
menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan
sabotase, memutuskan kawat-kawat telefon sehingga militer Jepang tidak
dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik.
Untuk melaksanakan rencana ini, K.H. Zaenal Mustofa
meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing
dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai
juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan,
tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim
camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa
anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil.
Mereka malah ditahan di rumah K.H. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan.
Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar K.H. Zaenal Mustofa
menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak
tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, keempat opsir itu tewas
dan salah seorang santri yang bernama Nur
menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir Jepang
tersebut. Setelah kejadian tersebut, sore harinya sekitar pukul 16.00
datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah.
Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut, setelah
tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa
sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Maka
terjadilah apa yang dikisahkan pada awal tulisan ini.
Perlu dijelaskan pula bahwa sehari setelah peristiwa itu, antara
700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya.
Yang sangat penting adalah instruksi rahasia dari K.H. Zaenal Mustofa
kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan, yaitu agar
tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam
kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan
Sukamanah dipikul sepenuhnya oleh K.H. Zaenal Mustofa.
Akibatnya memang berat. Sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk K.H. Zaenal Mustofa,
dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu
rimbanya. Kemungkinan besar mereka dibunuh. Korban lainnya, seperti
telah disebutkan di atas dan sekitar 600-an orang dilepas, karena
dianggap tidak terlibat.
Baca Juga : Sejarah Santri Cirebon Yang Terlupakan
Penutup
DENGAN membaca kisah ringkas perlawanan para santri dari Pesantren Sukamanah pimpinan K.H. Zaenal Mustofa
di atas, setidaknya kita bisa melakukan refleksi sejenak. Sesungguhnya
para pahlawan itu adalah mereka yang berjuang tanpa pamrih, siap
berkorban dengan nyawanya sekali pun. Tentu saja, mereka tidak pernah
terpikir untuk mendapat gelar pahlawan nasional. Masih banyak peristiwa
heroik dari para pahlawan kita dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan
negeri ini.
Sementara itu, kita, anak cucunya tinggal enaknya menerima warisan.
Sebuah negara yang sudah merdeka. Masalahnya adalah, apakah pengorbanan
mereka, keikhlasan mereka, harus dikorbankan oleh kita, dengan cara
menggerogoti negeri ini perlahan-lahan, dengan segala kerakusan dan
keserakahan hingga hancur sehancur-hancurnya. Marilah kita sadar sebelum
semuanya terlambat.
*** (sumber, Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad, Ketua
Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, dan Ketua Pusat
Kebudayaan Sunda Fak. Sastra Unpad.)
Santri Indonesia
Para Santri dan Sejarah Cirebon yang Terlupakan
CIREBON saat ini tengah tertatih dalam usia yang makin renta.
Dihitung dalam tahun masehi, konon Cirebon telah melewati perjalanan
sejarah selama 535 tahun. Dan telah lama rakyat merindukan kehidupan
yang penuh sejahtera di tengah kiprah manusia yang penuh kemunafikan dan
ramai dengan geliat kemaksiatan.
Tampaknya penguasa Cirebon saat ini tak pernah mau membangun
nilai-nilai sejarah yang sesungguhnya mampu menumbuhkan seraut wajah
rakyat yang berjaya. Sejarah masa lampau tentang Cirebon yang pernah
mengukir masa keemasan sebagai negeri yang
tenteram, damai, dan dihuni masyarakatnya yang bergelimang kemakmuran,
tampaknya kian terpinggirkan. Padahal menurut para ahli seperti Prof. Dr. Siti Humamah, dosen UGM, sejarah masa lampau Cirebon punya arti penting dan sarat dengan pelajaran bagi penguasa maupun rakyatnya.
Cirebon dulu hanyalah sebuah pedukuhan kecil bagian dari sebuah
negeri besar Pakuan Pajajaran yang memiliki pelabuhan laut yang terletak
di kaki Gunung Sembung dan Amparan Jati, sementara daerah lainnya masih
berupa hutan belukar. Naskah kuno berjudul Carita Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon
yang ditulis tahun 1702 Masehi mengisahkan bahwa Dukuh Pasambangan pada
tahun 1482, masih menjadi daerah kekuasaan Pakuan Pajajaran dengan raja
yang berkuasa Prabu Siliwangi.
Yang patut dicatat dan direnungi, penguasa pelabuhan Cirebon masa itu
begitu menghormati tokoh agama Islam yang mendirikan pesantren di
sekitar pelabuhan meski ia sendiri bukan pemeluk Islam. Maka tokoh agama
dan seorang kiai asal Mekah yang bernama Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Idhofi juga disebut Syekh Nuruljati,
membalas penghormatan penguasa pedukuhan itu dengan membantu
pembangunan pedukuhan Cirebon, hingga berkembang pesat menjadi sebuah
pedukuhan dengan pelabuhan yang besar dan terkenal di kalangan pedagang
nasional maupun internasional. Setiap harinya pelabuhan ini dilabuhi
banyak perahu dari berbagai negeri seperti dari Cina, Arab, Parsi,
India, Malaka, Tumasik, Pasei, Jawa Timur, Madura, dan Palembang.
Peran Kiai Syekh Datuk Kahpi dan para
santrinya kala itu dalam membangun kejayaan Cirebon tampak sangat
menonjol. Islam di Cirebon kala itu berkembang pesat hingga mengalahkan
agama yang lama, ternyata dibangun bukan dengan gerakan anarkis atau
dengan perjuangan yang berdarah-darah. Kiai Syekh Datuk Kahpi syiar Islam dengan mewujudkan sabda Rasulullah saw., yakni dengan menebar citra bahwa Islam itu adalah agama yang menebar rahmatan lil âlamin.
Rupanya Kiai Syekh Datuk Kahpi paham benar tentang ajaran Islam sebagaimana yang di firmankan Allah SWT dalam Alquran Surat Al- Qashash:77 yang terjemahnya berbunyi, “dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Maka nama besar Kiai Syekh Datuk Kahpi ini menebar ke berbagai negeri. Tak pelak, namanya membuat dua anak Maha Raja Pakuan Pajajaran Prabu Siliwangi, bernama Raden Walangsungsang dan Nyai Lara Santang, menjadi santri di Pondok Pesantren Syekh Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati.
Dalam mendidik, Kiai Syekh Datuk Kahpi tidak mengajarkan terorisme terhadap para santrinya. Seperti yang tertulis dalam naskah kuno berjudul Carita Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon yang ditulis tahun 1702 Masehi. Kiai Syekh Datuk Kahpi selain mengajarkan ilmu keagamaan juga mengajarkan ilmu kehidupan. Sebagai contoh, saat dua orang santri, putra Prabu Siliwangi, selesai belajar ilmu agama selama tiga tahun, Kiai Syekh Datuk Kahfi menerjunkan para santrinya itu – dipimpin santri bernama Raden Walangsungsang
– untuk babad alas/membuka hutan belukar untuk mendirikan pedukuhan di
kebon pesisir, Lemahwungkuk yang pada waktu itu disebut Tegal
Alang-alang.
Hasilnya menggembirakan. Para santri menunjukkan hasil dalam babad alas. Atas keberhasilan babad alas ini, Raden Walangsungsang – selaku pimpinan babad alas dijuluki Ki Samadullah oleh Kiai Syekh Datuk Kahpi. Dan setelah babad alas usai, Ki Samadullah pun mendirikan tajug baru dan membuat gubuk.
Dalam hitungan tahun pedukuhan ini makin lama bertambah ramai. Banyak
orang berdatangan untuk berdagang dan menangkap ikan. Komandan santri
yang babad alas Cerbon ini menikah. Pedukuhan ini berubah menjadi sebuah
desa yang bernama Desa Caruban Larang. Kuwu pertama adalah mertua Ki Samadullah yakni Ki Danusela yang bergelar Ki Gedeng Alang-alang. Sementara Ki Samadullah diangkat menjadi pangraksa bumi.
Kepiawaian sosok santri Raden Walangsungsang alias Ki Samadullah
ini mampu menarik simpatik banyak orang. Sehingga dalam tiga tahun Desa
Caruban Larang banyak dikunjungi orang untuk berdagang bahkan berdiam
menjadi penduduk setempat. Mereka yang berdiam di Desa Caruban larang
adalah orang-orang dari berbagai bangsa dan berbagai agama serta
berbagai profesi. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan yang dipegang oleh
seorang santri mampu mengayomi banyak orang dari berbagai bangsa, agama,
dan pekerjaan. Ki Samadullah juga dikenal
banyak menolong bukan cuma dari golongan sendiri tapi juga kepada orang
dari golongan lain yang memang perlu dan membutuhkan pertolongan.
Atas saran dari gurunya Kiai Syekh Datuk Kahfi, Ki Samadullah dan adiknya Nyi Mas Lara Santang menunaikan ibadah haji dan belajar agama Islam di Makah kepada Syekh Abdul Yazid. Ki Samadullah – santri Syekh Datuk Kahfi ini, sepulang dari Makah mengajar agama Islam pada penduduk di Caruban. Makin lama makin banyak pengikut Ki Samadullah.
Ki Samadullah yang mendapat gelar Pangeran Cakrabuwana
membangun keraton dengan berbagai kemudahan. Semua kemudahan itu tidak
terlepas dari sikap hidupnya yang selalu menolong sesama. Ia telah
mendapat pertolongan Allah SWT. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad saw., “Allah menolong seorang hamba selama hamba termaksud (suka) menolong sesama”.
Ki Samadullah ini merintis pembangunan
kota yang sekarang berkembang menjadi Cirebon diperkirakan jatuh pada
tahun 1445 Masehi. Ia adalah perintis adanya Cirebon sebagai sebuah
negara yang berdaulat. Keberhasilan Ki Samadullah dalam membangun Cirebon diteruskan oleh seorang santri lainnya yang juga keponakan Ki Samadullah bernama Syekh Syarif Hidayat (belakangan dikenal dengan nama Sunan Gunung Djati), yakni cucu Prabu Siliwangi.
Keilmuan yang dimiliki santri Syarif Hidayat ini tak perlu diragukan. Sebab pada usia 20 tahun, ia telah mesantren ke berbagai negeri pusat agama Islam. Sunan Gunung Djati alias Syarif Hidayat pernah menjadi santrinya Syekh Tajuddin Al-Kubri Makah selama 2 tahun dan menjadi santrinya Syekh Ata’ullahi Sadzili, pengikut Imam Safi’i, selama 2 tahun. Kemudian belajar tasawuf di Bagdad Irak. Tamat belajar dari Bagdad Sunan Gunung Djati mondok di Pasei Aceh dan berguru pada Sayid Iskak selama 2 tahun.
Tahun 1470 Masehi Sunan Gunung Djati membuka pondok pesantren di Gunung Sembung (sekarang Desa Astana Kecataman Cirebon Utara). Tahun 1479 Masehi Sunan Gunung Djati menjadi Tumenggung bergelar Susuhunan Jati dengan berkedudukan di Keraton Pakungwati. Bersamaan dengan itu Sunan Gunung Djati
dinobatkan sebagai Penegak Panatagama Islam yakni wali di seluruh
wilayah Sunda oleh para Wali Sanga, menggantikan guru ngajinya Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Nuruljati yang telah wafat.
Kepemimpinan Sunan Gunung Djati dengan syiar Islam yang mengajak rakyat untuk beriman dan bertakwa kepada Allah SWT
membuahkan hasil yang menggembirakan. Cirebon dibangun dengan tapak
sejarah kemaksiatan. Terbukti penduduk Cirebon semasa kepemimpinan Sunan Gunung Djati sebagian besar berubah agama menjadi penduduk beragama Islam yang memelihara keimanan dan ketakwaan secara kafah.
Bahkan saat Sunan Gunung Djati
memproklamasikan Cirebon sebagai negara berdaulat dan tidak lagi menjadi
daerah jajahan Pakuan Pajajaran, tanpa mengacungkan pedang dan
mengumandangkan genderang perang saudara. Cirebon menjadi negara Islam
yang besar dan berjaya di Jawa Barat dengan penduduknya yang makmur.
Keberhasilan Sunan Gunung Djati dalam memimpin negeri Cirebon hanya dan lantaran mengamalkan perintah Allah SWT dalam firman- Nya, “Jikalau
sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa,pastilah Kami akan
melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (Al-A’raf:96). “…Barang siapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberikan rezeki
dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang
bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluanya)-nya” (A-Talaq :2-3).
Inilah bukti sejarah yang tak terbantahkan bahwa peran para santri,
para kiai beserta komunitas pesantrennya begitu penting dalam menentukan
keberadaan Cirebon sebagai negeri yang berjaya. Para santri dan kiai
beserta komunitas pesantrennya di Cirebon semestinya tak terabaikan
begitu saja, apalagi terpinggirkan seperti saat ini.
Sumber: Pikiran Rakyat, Jumat, 3 Juni 2005
Baca Juga : Secarik kertas tentang Gusdur
Sejarah Santri Cirebon Yang Terlupakan
“Haolan” dan Solidaritas Sosial
SALAH SATU tradisi masyarakat Muslim Indonesia yang erat kaitannya
dengan Hari Raya Idul Fitri adalah “haolan” atau “haol”. Dalam satu atau
dua dasawarsa belakangan ini, paling tidak di masyarakat Sunda, tradisi
ini rasanya semakin ramai.
Istilah ‘haolan’ berasal dari bahasa Arab, hawl, yang artinya daur
dalam satu tahun. Dengan demikian, haolan dapat diterjemahkan sebagai
‘tahunan’. Haolan memang mengacu kepada waktu, bukan kepada jenis
kegiatan. Itulah sebabnya segala kegiatan rutin tahunan dapat disebut
‘haolan’. Tetapi paling tidak, ada dua hal yang dikenal luas sebagai
haolan. Pertama, haolan yang diadakan untuk
mengumpulkan karib kerabat (reuni keluarga besar), sebagai perwujudan
silaturrahim. Kedua, haolan untuk memperingati wafatnya seseorang.
Sudah barang tentu, pada haolan jenis kedua pun terjadi juga reuni
keluarga. Bedanya dalam tujuan dan waktu pelaksanaannya. Haolan jenis
pertama dimaksudkan sebagai acara temu kangen antar anggota keluarga.
Acara ini biasanya dilaksanakan beberapa hari pasca idul fitri.
Sedangkan haolan jenis kedua, diadakan untuk mengenang wafatnya
seseorang, dan tentu saja diadakan sesuai tanggal dan bulan wafat orang
tersebut.
Adapun tulisan ini mengacu kepada jenis haolan yang disebut pertama,
yaitu silaturrahim pasca lebaran. Pada beberapa keluarga, haolan jenis
ini, lazim pula disebut “pertemuan”. Tidak begitu jelas, kenapa
-sebagian- orang Sunda itu menyebut acara demikian sebagai “pertemuan”,
sebuah nama yang lebih terasa melayu ketimbang nyunda atau Arab.
Haolan demikian biasanya dilakukan oleh sebuah keluarga yang sangat
besar, yang melibatkan beberapa generasi. Keluasan cakupannya
mengakibatkan sukarnya mengorganisasikan kegiatan tersebut. Tampaknya,
hanya komitmen anggotanya -yang sebagian menetap di luar kabupaten,
provinsi bahkan mungkin pulau- saja yang memungkinkan acara itu dapat
berjalan maksimal. Selain itu, waktu pun ditetapkan sedemikian rupa, di
antaranya dipilih waktu sekira seminggu setelah lebaran. Maksudnya, agar
setiap keluarga memiliki waktu yang cukup untuk berkumpul di antara
mereka sendiri. Sebab di antara mereka, tak sedikit yang sudah memiliki
cicit, yang ketika lebaran, biasanya ramai-ramai mengunjungi mereka.
Jadi kalau acara mereka diumpamakan ‘sidang komisi’, maka haolan adalah
‘sidang paripurna’.
Upacara haolan dilakukan sebagaimana seremonial pada umumnya, yang
terdiri dari pembacaan ayat suci al-Qur’an, sebagai pembuka, tawasul
oleh ajengan sepuh, sambutan, tausiyah, dan do’a. Demikian juga acara
ini dilanjutkan dengan ‘makan-makan’. Konon, kata sebagian orang,
kegiatan yang disebut paling akhir itu tidak boleh diabaikan, sebab ia
menyangkut “kelangsungan hidup kita”.
Satu-satunya yang membedakan haolan jenis ini dari acara lain pada
umumnya adalah bahwa sebelum tausiyah, terlebih dahulu dilakukan
penyampaian runtuyan turunan (silsilah keturunan). Acara ini biasanya
disampaikan oleh anggota keluarga yang dipandang terpelajar. Tidak mesti
tua usianya, yang pasti ia mesti menguasai persoalan silsilah keturunan
itu dengan baik. Karena memang, rangkaian nasab itu bukan semata-mata
disebutkan, melainkan dalam beberapa hal, dijelaskan. Misalnya,
bagaimana seseorang pernahna kepada orang lain. Apakah ia mesti menyebut
aki, uwa, mamang, nini, bibi, euceu (teteh), dan seterusnya. Pada
masa-masa selanjutnya, diperkenalkan pula yang baru lahir, dan
disebutkan pula yang meninggal dalam satu tahun ke belakang. Selain itu,
juga diinformasikan domisili orang-orang yang disebutkan tadi, terutama
jika mereka bermukim agak jauh dari tempat tinggal asal keturunan
tersebut.
Jika berkenaan dengan dua atau tiga generasi, tentu hal tersebut
tidak terlalu jadi persoalan. Tetapi kalau sudah melibatkan “tujuh
turunan” dengan anggota yang sedemikian banyak, tentu persoalannya jadi
lain. Sebab tidak mudah mengidentifikasi mereka semua. Itulah sebabnya
pembawa materi itu pun acapkali meminta bantuan kepada keluarga yang
tengah dijelaskan itu. Kata ‘tujuh’ dalam ‘tujuh turunan’ itu tentu saja
tidak selalu harus dipahami secara harfiah, melainkan tujuh adalah
sebutan untuk mengacu kepada sesuatu yang sangat banyak, sebagaimana
dalam bahasa Arab. Sebab faktanya, keturunan yang dikumpulkan itu
seperti tiada batasannya, entah berapa generasi.
Penyebutan silsilah keturunan (syajarah al-nasab atau pohon
genealogis) menjadi acara inti dalam haolan jenis ini. Bahkan
sebagaimana telah disebutkan tadi, bahwa mata acara itulah yang
membedakan haolan tersebut dengan acara-acara lainnya.
Dalam masyarakat Sunda, pada umumnya, pengenalan atas kerabat ini
memang sangat penting. Sebab pengaruhnya akan tampak dalam interaksi
sosial sehari-hari. Terutama berkaitan dengan penyebutan nama panggilan
itu tadi. Mungkin kedengarannya agak janggal kalau pun tidak termasuk
kurang sopan, kalau misalnya seseorang seharusnya menyebut uwa menjadi
menyebut mamang atau bibi, yang semestinya akang menjadi adi. Dalam
masyarakat Sunda, sebutan adi ini digunakan sebagai sebutan untuk adik
yang dihormati, mungkin karena usia atau ilmunya. Misalnya anak paman
tapi usianya lebih tua.
Baca Juga : NU Isyarat Langit
Pengenalan atas silsilah itu pun dapat dipandang sebagai semacam
tradisi baik yang disandarkan kepada Nabi saw atau tradisi Arab pada
umumnya. Paling tidak itulah kata sebagian penceramah dengan merujuk
kepada bukti kalau orang tua Nabi saw dapat dilacak sampai jauh ke atas,
sebagaimana sering dibaca dalam Qasidah Burdah.
Di samping itu, terdapat alasan lain yang tak kalah pentingnya, yaitu
bahwa dalam Islam, konsep keluarga menjadi hal yang patut diperhatikan.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan distribusi harta, misalnya, berkaitan
dengan soal kekerabatan. Kerabat lebih berhak untuk diperhatikan (QS.
al-Baqarah [2]: 215, al-Nisa [4]: 8; al-Rum [30]: 38; al-Balad [90]:
15). Demikian juga, keluarga menjadi orang pertama yang mesti mendapat
pengawasan (QS. al-Tahrim [66]: 6; al-Syu’ara [26]: 214, dan lain-lain).
Kerabat atau keluarga dalam ayat-ayat tadi, tentu saja dalam pengertian
keluarga dekat, dan itu memang paling berhak. Tetapi selain itu juga
termasuk keluarga yang agak jauh; dan karena jauhnya itulah, ia tidak
mudah dikenali tanpa acara semacam haolan itu. Alasan terakhir ini,
sebagaimana juga konsep silaturrahim, menjadi semacam landasan teologis
upacara tersebut.
Dengan demikian haolan merupakan sebuah ritual yang penuh makna,
sebagai pengejewantahan konsep silaturrahim. Dengan haolan diharapkan
tercipta persaudaraan yang lebih erat, sehingga pada akhirnya akan
melahirkan sikap solider, empati, kasih sayang, dan sikap-sikap baik
lainnya.
Tentu saja tradisi haolan itu telah dan akan dipahami dalam pemaknaan
semacam tadi; jadi, bukan demi kebanggaan keluarga. Sebab jika
kebanggaan itu yang muncul, maka mungkin lebih mirip persemaian fanatik
kesukuan (ashabiyah) ketimbang perwujudan silaturrahim. Haolan yang
demikian tentu saja telah kehilangan orientasinya, dan pada gilirannya
mungkin akan ditinggalkan oleh generasi mendatang, karena dipandang
sebagai upacara tak bermakna.*** (Penulis, penyuluh agama Islam ahli Kantor Departemen Agama Kabupaten Ciamis.)
The Power Of Islam "Haolan"
Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang; Tiga Tokoh Penyebar Agama Islam di Tanah Pasundan
BERBICARA tentang proses masuknya Islam (Islamisasi) di seluruh tanah
Pasundan atau tatar Sunda yang sekarang masuk ke dalam wilayah Provinsi
Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, maka mesti berbicara tentang tokoh
penyebar dari agama mayoritas yang dianut suku Sunda tersebut. Menurut
sumber sejarah lokal (baik lisan maupun tulisan) bahwa tokoh utama
penyebar Islam awal di tanah Pasundan adalah tiga orang keturunan raja
Pajajaran, yaitu Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Prabu
Kian Santang.
Sampai saat ini, masih terdapat sebagian penulis sejarah yang
meragukan keberadaan dan peran dari ketiga tokoh tersebut. Munculnya
keraguan itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya nama yang ditujukan
kepada mereka. Misalnya, dalam catatan beberapa penulis sejarah
nasional disebutkan bahwa nama Paletehan (Fadhilah Khan) disamakan
dengan Syarif Hidayatullah. Padahal dalam sumber sejarah lokal (cerita
babad), dua nama tersebut merupakan dua nama berbeda dari dua aktor
sejarah dan memiliki peranan serta kedudukan yang berbeda pula dalam
proses penyebaran Islam di tanah Pasundan (dan Nusantara).
Selain faktor yang telah disebutkan, terdapat juga faktor-faktor
lainnya yang mengakibatkan munculnya keraguan terhadap ketiga tokoh
tersebut. Di antaranya seperti kesalahan pengambilan sumber yang hanya
mengambil sumber asing seperti catatan orang Portugis atau Belanda; atau
juga disebabkan sering banyaknya mitos yang dijumpai para penulis
sejarah dalam beberapa sumber lokal. Kondisi seperti ini sangat
membingungkan dan meragukan setiap orang yang ingin mencoba
merekonstruksi ketiga tokoh penyebar Islam di tanah Pasundan tersebut.
Dengan berdasarkan pada realitas historis semacam itu, maka tulisan
ini akan mencoba mengungkap misteri atau ketidakjelasan kedudukan,
fungsi, dan peran ketiga tokoh itu dalam proses Islamisasi di tanah
Pasundan. Dengan demikian diharapkan tulisan ini dapat memberikan
sumbangan berarti terhadap khazanah sejarah kebudayaan Islam-Sunda yang
sampai saat ini dirasakan masih kurang. Selain itu diharapkan juga dapat
memberikan informasi awal bagi para peminat dan peneliti tentang
sejarah Islam di tanah Pasundan.
Sumber-sumber Sejarah
SEBENARNYA banyak sumber sejarah yang belum tergali mengenai
bagaimana proses penyebaran Islam (Islamisasi) di tanah Pasundan.
Sumber-sumber tersebut berkisar pada sumber lisan, tulisan, dan artefak
(bentuk fisik). Sumber lisan yang terdapat di tanah Pasundan tersebar
dalam cerita rakyat yang berlangsung secara turun temurun, misalnya
tentang cerita “Kian Santang bertemu dengan Sayyidina Ali” atau cerita
tentang “Ngahiang-nya Prabu Siliwangi jadi Maung Bodas” dan
lainnya. Begitu pula sumber lisan (naskah), sampai saat ini msaih banyak
yang belum disentuh oleh para ahli sejarah atau filolog. Naskah-naskah
tersebut berada di Museum Nasional, di Keraton Cirebon Kasepuhan dan
Kanoman, Museum Geusan Ulun, dan di daerah-daerah tertentu di wilayah
Jawa Barat dan Banten, seperti di daerah Garut dan Ciamis. Di antara
naskah yang terpenting yang dapat dijadikan rujukan awal adalah naskah Babad Cirebon, naskah Wangsakerta, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan.
Sumber lainnya yang dapat dijadikan alat bantu untuk mengetahui
proses perkembangan Islam di tanah Pasundan ialah artefak (fisik)
seperti keraton, benda-benda pusaka, maqam-maqam para wali, dan pondok
pesantren. Khusus mengenai maqam para wali dan penyebar Islam di tanah
Pasundan adalah termasuk cukup banyak seperti Syeikh Abdul Muhyi
(Tasikmalaya), Sunan Rahmat (Garut), Eyang Papak (Garut), Syeikh
Jafar Sidik (Garut), Sunan Mansyur (Pandeglang), dan Syeikh Qura
(Kerawang). Lazimnya di sekitar area maqam-maqam itu sering ditemukan
naskah-naskah yang memiliki hubungan langsung dengan penyebaran Islam
atau dakwah yang telah dilakukan para wali tersebut, baik berupa ajaran
fiqh, tasawuf, ilmu kalam, atau kitab al-Qur’an yang tulisannya
merupakan tulisan tangan.
Tokoh Cakrabuana
BERDASARKAN sumber sejarah lokal (seperti Babad Cireboni) bahwa
Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian Santang merupakan tiga tokoh
utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan. Ketiganya merupakan
keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau Sribaduga Maha Raja)
raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda). Hubungan
keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian
Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan
keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri
merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan
kakak perempuan Kian Santang.
Cakrabuana (atau nama lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian
Santang merupakan anak Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan
Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar
Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika Prabu Siliwangi belum
menjadi raja Pajajaran; ia masih bergelar Prabu Jaya Dewata atau
Manahrasa dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah Sindangkasih
(Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Galuh
Surawisesa (kawali-Ciamis) yang diperintah oleh ayahnya Prabu Dewa
Niskala. Sedangkan kerajaan Sunda-Surawisesa (Pakuan/Bogor) masih
dipegang oleh kakak ayahnya (ua: Sunda) Prabu Susuk Tunggal.
Sebelum menjadi isteri (permaisuri) Prabu Siliwangi, Nyai Subang
Larang telah memeluk Islam dan menjadi santri (murid) Syeikh Hasanuddin
atau Syeikh Quro. Ia adalah putera Syeikh Yusuf Siddiq, ulama terkenal
di negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan).
Syeikh Hasanuddin datang ke pulau Jawa (Karawang) bersama armada
ekspedisi Muhammad Cheng Ho (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong) dari dinasti
Ming pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan pesantren yang diberi
nama Pondok Quro. Oleh karena itu ia mendapat gelar (laqab) Syeikh Qura. Ajaran yang dikembangkan oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam Madzhab Hanafiah.
Pondok Quro yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan
lembaga pendidikan Islam (pesantren) pertama di tanah Pasundan. Kemudian
setelah itu muncul pondok pesantren di Amparan Jati daerah Gunung Jati
(Syeikh Nurul Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok
pesantren Amparan Jati dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh
Idhopi, seorang ulama asal Arab yang mengembangkan ajaran Islam madzhab
Syafi’iyyah.
Sepeninggal Syeikh Hasanuddin, penyebaran Islam melalui lembaga
pesantren terus dilanjutkan oleh anak keturunannya, di antaranya adalah
Musanuddin atau Lebe Musa atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan,
Musanuddin dikenal dengan nama Syeikh Benthong, salah seorang yang
termasuk kelompok wali di pulau Jawa (Yuyus Suherman, 1995:13-14).
Dengan latar belakang kehidupan keberagamaan ibunya seperti itulah,
maka Cakrabuana yang pada waktu itu bernama Walangsungsang dan adiknya
Nyai Lara Santang memiliki niat untuk menganut agama ibunya daripada
agama ayahnya (Sanghiyang) dan keduanya harus mengambil pilihan untuk
tidak tetap tinggal di lingkungan istana. Dalam cerita Babad Cirebon dikisahkan
bahwa Cakrabuana (Walangsungsang) dan Nyai Lara Santang pernah meminta
izin kepada ayahnya, Prabu Jaya Dewata, yang pada saat itu masih menjadi
raja bawahan di Sindangkasih untuk memeluk Islam. Akan tetapi, Jaya
Dewata tidak mengijinkannya. Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara
Santang akhirnya meninggalkan istana untuk berguru menimba pengetahuan
Islam. Selama berkelana mencari ilmu pengetahuan Islam, Walangsungsang
menggunakan nama samaran yaitu Ki Samadullah. Mula-mula ia berguru
kepada Syeikh Nurjati di pesisir laut utara Cirebon. Setelah itu ia
bersama adiknya, Nyai Mas Lara Santang berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi
(Syeikh Idhopi).
Selain berguru agama Islam, Walangsungsang bersama Ki Gedeng Alang
Alang membuka pemukinan baru bagi orang-orang yang beragama Islam di
daerah pesisir. Pemukiman baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa bukan
Caitra tahun 1367 Saka atau bertepatan dengan tanggal 1 Muharam 849
Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi nama
Cirebon (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari kata atau
bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang
kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian
penduduk pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk
dijadikan bahan terasi. Sebagai kepada (kuwu; Sunda) pemukiman
baru itu adalah Ki Gedeng Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh
Walangsungsang dengan gelar Pangeran Cakrabuana atau Cakrabumi.
Setelah beberapa tahun semenjak dibuka, pemukian baru itu (pesisir
Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi oleh berbagai
suku bangsa. Tahun 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon berjumlah 348
jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Sunda sebanyak 196
orang, Jawa 106 orang, Andalas 16 orang, Semenanjung 4 orang, India 2
orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang, dan Cina 6
orang. Agama yang dianut seluruh penduduk pesisir Cirebon ini adalah
Islam.
Untuk kepentingan ibadah dan pengajaran agama Islam, pangeran
Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi, atau Ki Samadullah) kemudian
ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Sang Tajug Jalagrahan (Jala artinya air; graha artinya
rumah), Mesjid ini merupakan mesjid pertama di tatar Sunda dan
didirikan di pesisir laut Cirebon. Mesjid ini sampai saat ini masih
terpelihara dengan nama dialek Cirebon menjadi mesjid Pejalagrahan. Sudah tentu perubahan nama ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah mendirikan pemukiman (padukuhan;
Sunda) baru di pesisir Cirebon, pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara
Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan rukun Islam yang
kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang
bertemu dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa (sultan) kota Mesir
pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara geneologis, merupakan
keturunan Nabi Muhammad Saw. generasi ke-17.
Dalam pertemuan itu, Syarif Abdullah merasa tertarik hati atas
kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara Santang. Setelah selesai
menunaikan ibadah haji, Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Haji Abdullah
Iman, dan Nyai Mas Lara Santang mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im.
Selanjutnya, Nyai Mas Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana
dengan Syarif Abdullah. Di Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi
mukimin selama tiga bulan. Selama tiga bulan itulah, ia belajar tasawuf
kepada haji Bayanullah, seorang ulama yang sudah lama tinggal di
Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad mempelajari fiqh madzhab
Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki.
Selang beberapa waktu setelah pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon,
kakeknya dari pihak ibu yang bernama Mangkubumi Jumajan Jati atau Ki
Gedeng Tapa meninggal dunia di Singapura (Mertasinga). Yang menjadi
pewaris tahta kakeknya itu adalah pangeran Cakrabuana. Akan tetapi,
Pangeran Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di
Singapura (Mertasinga). Ia membawa harta warisannya ke pemukiman pesisir
Cirebon. Dengan modal harta warisan tersebut, pangeran Cakrabuana
membangun sebuah keraton bercorak Islam di Cirebon Pesisir. Keraton
tersebut diberi nama Keraton Pakungwati. Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti
berdirilah sebuah kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran.
Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut
diberi nama Nagara Agung Pakungwati Cirebon atau dalam bahasa Cirebon disebut dengan sebutan Nagara Gheng Pakungwati Cirebon.
Mendengar berdirinya kerajaan baru di Cirebon, ayahnya Sri Baduga
Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu Suliwangi) merasa senang. Kemudian ia
mengutus Tumenggung Jayabaya untuk melantik (ngistrénan; Sunda) pangeran Cakrabuana menjadi raja Nagara Agung Pakungwati Cirebon dengan gelar Abhiseka Sri Magana. Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima Pratanda atau gelar keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima Anarimakna Kacawartyan atau
tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini jelaslah bahwa
Prabu Siliwangi tidak anti Islam. Ia justeru bersikap rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang yang memeluk agama Rasul Muhammad).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa
yang pertama sukses menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah
Pangeran Cakrabuana atau Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji
Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak Nyai Mas Lara Santang dan Kian
Santang, dan ketiganya merupakan anak-anak dari Prabu Siliwangi. Dengan
demikian, ia merupakan paman (ua; Sunda) dari Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati). Ia dimakamkan di Gunung Sembung dan makamnya
berada luar komplek pemakaman (panyawéran; Sunda) Sunan Gunung Jati.
Baca Juga : Sya'ir Sunan Kalijogo
Tokoh Kian Santang
SEBAGAIMANA halnya dengan prabu Siliwangi, Kian Santang merupakan
salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan tetapi tokoh ini, dalam
cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di wilayah Sunda,
terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris dengan
pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam tradisi persilatan, Kian Santang
terkenal dengan sebutan Gagak Lumayung. Sedangkan nama Kian Santang
sendiri sangat terkenal dalam sejarah dakwah Islam di tatar Sunda bagian
pedalaman.
Sampai saat ini terdapat beberapa versi mengenai tokoh sejarah yang
satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang meragukan tentang keberadaan
tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah yang akurat faktual
dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu pendapat semacam ini
adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam mengambil
kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak
sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut
mengenai tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan,
maupun benda-benda sejarah. Salah satunya adalah patilasan Kian Santang
di Godog Garut, atau Makam Kian Santang yang berada di daerah Depok
Pakenjeng Garut. Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah
merupakan tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi
generalisir yang membabi buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak
ada cerita sejarah yang sebenarnya.
Sampai saat ini terdapat empat sumber sejarah (lisan dan tulisan)
yang menceritakan tentang sepak terjang tokoh Kian Santang yang sangat
legendaris itu. Keempat sumber itu, ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah
Godog yang diceritakan secara turun menurun; (3) P. de Roo de la
Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S. Sulendraningrat. Terdapat
beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan dakwah Kian Santang,
dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan gaib dengan
Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat yang
ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca
kalimat Syahadat.
Di dalam cerita lisan lainnya, dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang
adalah putera raja Pajajaran yang masuk Islam. Ia pergi ke Arab, masuk
Islam dan setelah kembali ia memakai nama Haji Lumajang. Cerita lainnya
lagi mengatakan bahwa Prabu Kian Santang mengajar dan menyebarkan agama
Islam di Pajajaran dan mempunyai banyak pengikut; dan banyak pula putra
raja yang masuk Islam; bahwa Prabu Kian Santang diusir dari keraton dan
tidak lagi menganut agama nenek moyangnya dan menghasut raja Pajajaran,
bahwa ia akhirnya pergi ke Campa sewaktu kerajaan Pajajaran runtuh.
Dari cerita rakyat tersebut terdapat alur logis yang menunjukkan
kebenaran adanya tokoh Kian Santang sebagai salah seorang penyebar agama
Islam di tanah Pasundan. Misalnya alur cerita tentang “Haji Lumajang”
atau ia pergi ke Campa ketika kerajaan Pajajaran runtuh. Atau istilah
Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi dan sumber data
yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya.
Adapun mengenai pertemuannya dengan Sayyidina Ali, boleh jadi nama
tersebut bukanlah menantu Rasulullah yang meninggal pada tahun 661 M,
melainkan seorang syekh (guru) tarekat tertentu atau pengajar tertentu
di Mesjid al-Haram. Jika sulit dibuktikan kebenarannya, maka itulah
suatu bumbu dari cerita rakyat; bukan berarti seluruh cerita itu adalah
mitos, tahayul, dan tidak ada buktinya dalam realitas sejarah manusia
Sunda.
Sejalan dengan cerita rakyat di atas, P. de Roo de la Faille menyebut
bahwa Kian Santang sebagai Pangeran Lumajang Kudratullah atau Sunan
Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di
tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada bukti-bukti fisik berupa
satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan, sebuah skin (pisau
Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut, sebuah
tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang
berada di Godog Karangpawitan Garut.
Dalam sejarah Godog, Kian Santang disebutnya sebagai orang suci dari
Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan) dan dari pantai utara. Ia
membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang menjadi sahabat Kian
Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama menyebarkan Islam,
menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah 11 orang, yaitu 1) Saharepen
Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang Sakti (Sapi), 4) Penghulu
Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu Kasiringanwati atau Raden
Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 ) Panengah, 9)
Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.
Dari seluruh cerita rakyat tersebut dapat disimpulkan bahwa Kian
Santang merupakan salah seorang putra Pajajaran, yang berasal dari
wilayah Cirebon dan merupakan seorang penyebar agama Islam di Pajajaran.
Kesimpulan ini dapat dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh
P.S. Sulendraningrat yang mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan
Pajajaran membawahi kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing
diperintah oleh seorang raja. Di antaranya adalah kerajaan Sindangkasih
(Majalengka) yang diperintah oleh Sri Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya
Dewata alias Prabu Siliwangi). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata
menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya, sampailah ia di Pesantren Qura
Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh Syeikh Hasanuddin (ulama
dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia bertemu dengan Subang
Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak dipersunting dan
menjadi ibu dari Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara Santang, dan
Pangeran Kian Santang.
Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa Kian Santang
merupakan salah seorang penyebar agama Islam di tanah Pasundan yang
diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam pada tahun
1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga Maharaja
alias Prabu Siliwangi, raja terakhir Pajajaran. Ia berasal dari wilayah
Cirebon (Sindangkasih; Majaengka), yaitu ketika bapaknya masih menjadi
raja bawahan Pajajaran, ia melarikan diri dan menyebarkan Islam di
wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog, op groundgebied. Limbangan
merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Tatar Sunda
(khususnya di wilayah Priangan). Selain di Godog pada waktu itu,
sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut Islam sebagai
hubungan langsung dnegan para pedagang Arab dan India.
Mula-mula Kian Santang mengislamkan raja-raja lokal, seperti Raja
Galuh Pakuwon yang terletak di Limbangan, bernama Sunan Pancer
(Cipancar) atau Prabu Wijayakusumah (1525-1575). Raja yang satu ini
merupakan putra Sunan Hande Limasenjaya dan cucu dari Prabu
Layangkusumah. Prabu Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi.
Dengan demikian Sunan Pancer merupakan buyut Prabu Siliwangi. Kian
Santang menghadiahkan kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur;an berkukuran
besar dan sebuak sekin yang bertuliskan lafadz al-Qur’an la ikroha fiddin. Berkat Sunan Pancer ini Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon, sisi kerajaan terakhir Pajajaran.
Para petinggi dan raja-raja lokal lainnya yang secara langsung
diIslamkan oleh Kian Santang di antaranya, ialah (1) Santowan Suci
Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat makam Kian
Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan
Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi
tombak oleh Kian Santang dan sekarang menjadi pusaka Sukapura dan ada di
Tasikmalaya.
Melalui raja-raja lokal inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh
tanah Priangan. Kemudian setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar
Islam generasi berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq
(Penganut Syatariah) di Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah
(Tanjung Singguru, Samarang, Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut
Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan para menak dan ulama dari
Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di Sumedang dan Arif
Muhammad di Cangkuang (Garut).
Tokoh Syarif Hidayatullah
SEPERTI telah diuraikan di atas bahwa ketika selesai menunaikan
ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan oleh kakaknya
(Walangsungsang) dengan Syarif Abdullah, seorang penguasa kota Mesir
dari klan al-Ayyubi dari dinasti Mamluk. Ia adalah putera dari Nurul
Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat Zainal
Abidin (buyut Fadhilah Khan, Faletehan) dan Ibrahim Zainal Akbar, yaitu
ayah dari Ali Rahmatullah atau raden Rahmat atau Sunan Ampel (Yuyus
Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan Ibrahim Zainal
Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah dengan
puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah
(puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk.
Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang
melahirkan dua putera yaitu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
yang lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di
Mesir.
Syarif Hidayatullah muda berguru agama kepada beberapa ulama terkenal
saat itu. Di antaranya ia berguru kepada Syeikh Tajuddin al-Kubri di
Mekkah dan Syeikh Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan
pengarang kitab tasawuf, al-Hikam, masing-masing selama dua
tahun. Setelah merasa cukup pengetahuan agamanya, ia memohon kepada
kedua orang tuanya untuk berkunjung kepada kakak ibunya (Pangeran
Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu menduduki tahta kerajaan
Islam Pakungwati.
Selama di perjalanan menujuk kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon,
Syarif Hidayatullah menyempatkan diri untuk singgah di beberapa tempat
yang dilaluinya. Di Gujarat India, ia singgah selama tiga bulan dan
sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di Gujarat ia mempunyai murid,
yaitu Dipati Keling beserta 98 anak buahnya. Bersama Dipati Keling dan
pengikutnya, ia meneruskan perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun
sempat singgah di Samudera Pasai dan Banten. Di Pasai ia tinggal selama
dua tahun untuk menyebarkan Islam bersama saudaranya Syeikh Sayyid
Ishak. Di Banten ia sempat berjumpa dengan Sayyid Rakhmatullah (Ali
Rakhmatullah atau Syeikh Rahmat, atau Sunan Ampel) yang sedang giatnya
menyebarkan Islam di sana.
Sesampainya di Cirebon, Syarif Hidayatullah giat menyebarkan agama
Islam bersama Syeikh Nurjati dan Pangeran Cakrabuana. Ketika itu,
Pakungwati masih merupakan wilayah kerajaan Galuh dengan rajanya adalah
Prabu Jaya Dewata, yang tiada lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah
dan ayah dari Nyi Mas Larasantang. Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata
tidak merasa khawatir dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif
Hidayatullah bahkan diangkat menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan
tidak lama kemudian ia pun diangkat semacam “kepala” di Cirebon. Syarif
Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan menyebarkan Islam ke arah
selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya Dewata mulai
gelisah, kemudian ia memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan
Pajajaran yang terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu
Susuktunggal, yang masih merupakan paman (ua; Sunda) dari Jaya
Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah dengan Mayang Sunda,
puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari Galuh (Kawali
Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali
Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu
Jaya Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi
Sri Baduga Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46).
Pada tahun 1479, Pangeran Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk
pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai penggatinya, maka ditasbihkanlah
Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon yang baru. Di bawah pimpinan
Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak kemajuannya, sehingga
atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan Kerajaan Demak,
akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Sudah tentu, sikap
ini mengundang kemarahan Prabu Jaya Dewata dan berusaha mengambil alih
kembali Cirebon. Namun penyerangan yang dilakukan Prabu Jaya Dewata
tidak berlangsung lama. Dikatakan bahwa Prabu Jaya Dewata mendapatkan
nasihat dari para Purohita (pemimpin agama Hyang) yang menyatakan bahwa
tidak pantas terjadi pertumpahan darah antara kakek dan cucunya. Lagi
pula berdirinya Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran, yaitu Pengeran Cakrabuana.
Pada tanggal 13 Desember 1521 M, Prabu Siliwangi mengundurkan diri
dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk selanjutnya menjadi petapa suci
sesuai dengan kepercayaan yang dianutnya. Sebagai penggantinya adalah
Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar
Sanghyang. Pangeran Surawisesa inilah yang secara resmi
melakukan perjanjian kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya
ditandatangani pada 21 Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di
bidang perdagangan dan pertahanan. Rintisan kerja sama antara Pajajaran
dan Portugis itu telah dirintis sejak Prabu Jaya Dewata masih berkuasa.
Peristiwa tersebut merupakan peristiwa pertama dalam sejarah diplomatik
Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan seorang raja dari
Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik dengan
orang-orang Eropa.
Perjanjian kerjasama antara Pajajaran dan Portugis itu telah
menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak dan Cirebon. Karena itulah
pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak mengutus Fadhilah Khan
(Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama menguasai Sunda
Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan Pajajaran.
Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki pelabuhan
Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke
Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali
Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul
mundur oleh pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran
Jayakarta.
Banyak nama yang dinisbahkan pada Pengeran terakhir ini, yaitu
Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril, dan Ki Bagus Pase.
Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari Samudera
Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif
Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan Ratu
Pembayun (Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon,
puteri Syarif Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus
Suherman, 1995:17). Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka
Faletehan memiliki kedudukan penting di lingkungan keluarga kedua
keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif Hidayatullah meninggal pada 19
September 1568 M, maka Faletehan diangkat menjadi pengganti Syarif
Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu terjadi ketika
Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif Hidayatullah,
mengundurkan diri dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad Arifin
sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara
dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Pasarean.
Ketika Faletehan naik tahta di Cirebon ini, saat itu, Jayakarta
(Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus Angke, putra Muhammad
Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten. Namun Faletehan
menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama, yakni
hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M.
Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni
di Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan
Ratu.
Khatimah
DEMIKIANLAH sekilas mengenai uraian historis tentang peran Pangeran
Cakrabuana, Kian Santang, dan Syarif Hidayatullah dalam proses
penyebaran Islam di tanah Pasundan yang sekarang menjadi tiga wialyah,
yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten. Berdasarkan uraian di atas,
maka terdapat beberapa kesimpulan dan temuan sementara yang dapat
dijadikan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
Pertama, bahwa orang yang pertama menyebarkan Islam di daerah
pesisir utara Cirebon adalah Pangeran Walangsungsang atau Adipati
Cakrabuana atau Ki Cakrabumi atau Ki Samadullah atau Syeikh Abdul Iman,
yang mendirikan kerajaan pertama Islam Pakungwati. Ia adalah ua dari Syarif Hdiayatullah.
Kedua, Kian Santang merupakan anak ketiga dari pasangan Prabu
Siliwangi dan Nyi Subang Larang yang beragama Islam. Ia dilahirkan pada
tahun 1425, dua puluh lima tahun sebelum lahir Sunan Gunung Jati dan
Mualana Syarif Hidayatullah. Ia mulai menyebarkan agama Islam di Godog,
Garut pada tahun 1445. Ia adalah penyebar Islam pertama di pedalaman
tatar Sunda. Ia merupakan paman dari Syarif Hidayatullah. Ia disebutkan
berasal dari wilayah Cirebon, tepatnya dari Kerajaan Sindangkasih
(Majalengka).
Ketiga, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati adalah nama
tokoh yang berbeda dengan Faletehan. Keduanya memiliki peran yang
berbeda dalam usaha menyebarkan agama Islam di tanah Pasundan.