Posted by : Unknown
Monday, February 27, 2017
PERSPEKTIF KEWALIAN
Adalah hal
yang menarik melihat sosok Syarif Hidayatullah dari sudut pandang spiritualitas
(sufisme) atau kewalian, karena untuk melihat tokoh
historis-legendaris ini tidaklah cukup hanya dari satu perspektif saja,
terlebih karena ia berperan ganda, yakni sebagai seorang sultan (kepala
pemerintahan) dan sebagai seorang ulama-da’i. Ia dianggap sebagai salah
satu tokoh terbesar dalam sejarah Islam di Tatar Sunda, bahkan ia
dikonversi sebagai salah seorang wali sanga, sejumlah wali yang populer
sebagai agen Islamisasi di Tanah Jawa.
Dalam dunia
tasawuf, pembicaraan tentang wali merupakan hal yang sudah umum. Rujukan
paling banyak dikemukakan adalah kisah Musa dan Khidir. Khidir dianggap sebagai
orang yang mempunyai pengetahuan rahasia, sedangkan Musa hanya mengetahui
hal-hal yang bersifat lahir, sehingga di dalam perjalanan mereka berdua banyak
berbeda pendapat (QS 18:60-82). Tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk
menelisik ketokohan Syarif Hidayatullah dalam perspektif sufisme, terutama
dalam sudut pandang kewalian. Bagaimanakah identitas yang dinisbahkan
kepada tokoh ini hingga ia digolongkan sebagai wali sanga. Inilah yang
menjadi fokus tulisan ini. Hal ini karena kewalian merupakan salah satu
aspek penting dalam ajaran tasawuf yang barangkali sampai saat ini sering
dilupakan atau masih jarang disentuh oleh para sejarawan dan khususnya
pemerhati tasawuf.
Term Kewalian
AL-HUJWIRI
(1993:82) mendefinisikan wali dengan cara merujuk al-Qur’an surat Yunus ayat
62, “Sesungguhnya, wali-wali Allah (auliya) tidak ada ketakutan bagi mereka
dan mereka tidak akan bersedih hati.” Sedangkan menurut al-Tirmidzi
(t.t.:491) dan al-Syanqiti (1961:12), wali Allah adalah setiap orang yang
beriman dan bertaqwa. Apabila kedua pendapat ini digabungkan, maka secara umum
dapat dikatakan bahwa wali adalah orang yang secara aktif dan tegar
(tidak mempunyai rasa takut dan sedih) untuk mengungkapkan dan menyampaikan
pesan-pesan kebenaran yang datang dari Allah dan Rasulnya dengan dasar iman dan
taqwa yang sebebar-benarnya.
Kemudian
apabila beberapa literatur tasawuf dirujuk dapat ditemukan bahwa kata wali merupakan
ism sifat musyabbahat bermakna fa’il (subjek; pelaku pekerjaan),
dengan tekanan yang intensif, karena ia selalu menjaga diri untuk taat kepada
Allah swt dan tetap disiplin memenuhi kewajiban-kewajibannya dan menjauhi
larangannya. Jadi, term wali dalam arti aktifnya ialah “orang yang
menginginkan” (murid). Untuk kategori wali ini, proses mendapatkannya
dilakukan melalui ibadah secara terus menerus (mujâhadah). Oleh karena
itu, berdasarkan kategori ini, menurut Tirmidzi (1961:494), wali adalah
“orang yang disiplin melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya
(sesuatu yang diharamkan secara syar’i) secara terus menerus (man tawâlat
tha’âtuhu min ghairi an yattakhola laha isyânun).” Kata wali juga
merupakan bentuk ism sifat musyabbahah yang bermakna mafûl
(objek penderita); jadi wali dalam arti pasifnya menunjuk kepada
“orang-orang yang diinginkan Allah” (murad). Pengertian terakhir ini
menurut al-Hujwiri merujuk kepada firman Allah, QS al-A’râf (7):96, “Dia
melindungi (yatawalla) orang-orang yang benar.”
Oleh karena
itu, Ali Harazim dalam Jawâhir al-Maânî (1985:62) berpendapat
bahwa wali adalah seseorang yang urusannya dikuasai Allah secara
khusus serta musyahadah terhadap af’âl Allah. Sebenarnya
dua pemahamaman wali tersebut apabila digabungkan mengarah pada satu
pengertian bahwa wali adalah orang yang disiplin melaksanakan taqarub
(mendekatkan diri kepada Allah) dengan cara melaksanakan seluruh perintah Allah
dan menjauhi larangannya (yang diharamkan) sampai pada maqam (station)
tertentu. Yang dimaksud maqam dalam tradisi sufisme merujuk pada
suatu tingkatan ruhani (spiritual) yang didapat para sufi (wali) melalui
hasil usaha (ibadah). Apabila seorang wali sudah sampai pada maqam tertentu,
sangat mungkin apabila Allah kemudian menariknya atau menginginkannya untuk
mengetahui rahasia-rahasia-Nya.
Baca Juga :
Dengan
demikian, kewalian dibina melalui arah. Pertama, manusia itu sendiri
secara aktif mempersiapkan diri melalui disiplin ibadah sampai pada maqam tertentu.
Inilah yang dimaksud dengan al-muktasab, yakni usaha menempuhi jalan
Allah, dan karena itulah Allah menariknya sampai pada tingkat ma’rifah.
Peristiwa terakhir ini dikategorikan sebagai ghair muktasab (anugerah;
bukan merupakan usaha manusia). Dengan demikian, kewalian itu sendiri didapat
melalui campur Allah, secara mutlak. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kewalian
adalah wujud rahman dan rahim Allah swt.
Perihal
isyarat-isyarat mengenai makna hakikat kewalian telah banyak diungkap
oleh para sufi; misalnya (1) Abu Ali Jurjani; nama aslinya adalah Hasan ibn Ali
al-Jurjani, penulis kitab-kitab dalam bidang Ilm al-Auqât (ilmu
tentang waktu) dan suluk (jalan sufi). Menurut Ibrahim al-Sulama
(1969:242), ia sejaman dengan Muhammad ibn Ali al-Tirmidzi (w. 247 H). (2) Abu
Yazid Taifur ibn Isa ibn Sursan al-Bustami, yang lahir di Persia dan wafat pada
tahun 261 H.
Ciri-Ciri Kewalian Syarif Hidayatullah
DALAM
literatur tasawuf ditemukan bahwa salah satu ciri kewalian seseorang adalah
adanya keistimewaan-keistimewaan (karamah) yang muncul dari diri wali.
Menurut Jusuf al-Nabhani (t.t.:13), karamah adalah sesuatu yang
melanggar adat (hukum adi) yang keluar dari tangan atau anggota hamba
Allah yang benar-benar menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya
Menurut
hemat penulis, agaknya karamah wali erat kaitannya dengan misi
risalah al–nubuwwah Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi akhir jaman
yang syari’atnya berlaku hingga hari akhir. Melihat misi Nabi Muhammad saw.
sebagai khatam al-anbiyâ, maka untuk mengaktualkan dakwahnya
mesti ada kelompok tertentu yang secara khusus mengkonsentrasikan dirinya untuk
memelihara misi tersebut. Dalam pandangan kaum sufi, orang-orang yang mengemban
misi tersebut adalah mereka yang secara penuh mengabdi kepada urusan Allah dan
tidak menuruti dorongan-dorongan hawa nafsu mereka dan orang-orang yang
demikian adalah para wali.
Selanjutnya,
dapat dikatakan pula bahwa karamah wali pada dasarnya merupakan tanda
kenabian (burhan al-nubuwwah) Nabi Muhammad yang tetap ada hingga
sekarang. Para wali-lah yang kemudian menjadi sarana manifestasi dari burhan
al-nubuwwah, agar tanda dan bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. senantiasa
dapat dilihat dengan jelas. Dengan demikian, jika Nabi Muhammad saw.
mengemukakan mukjizat sebagai bukti kebenaran kenabiannya, selanjutnya
kebenaran pengakuannya dikuatkan oleh karamah wali. Hal ini, karena
syari’at Nabi Muhammad senantiasa berlaku sampai akhir zaman dan bukti
keberannya (hujjah)-nya juga senantiasa berlaku dan wali-wali adalah
saksi-saksi kebenaran misi Rasulullah saw.
Uraian di atas
menunjukkan bahwa karamah yang ditampilkan wali tidak mungkin dan
tidak seharusya bertentangan dengan mu’jizat yang ditampilkan Nabi
saw., sebab karamah tidak terkukuhkan, kecuali orang yang menampilkannya
bersaksi (musyahadah) atas kebenaran orang yang telah memperlihatkan mu’jizat.
Pada dasarnya, karamah dan kewalian merupakan anugerah Allah,
bukan sesuatu yang diusahakan oleh manusia sehingga usaha manusia tidak dapat
menjadi sebab bagi terwujudnya hal tersebut. Lebih jauh dikatakan oleh Ali
Harazim (1985:107) bahwa kesucian pengetahuan tentang Tuhan (ma’rifah),
merupakan dasar dari semua karamah yang dianugerahkan Allah kepada
hamba-Nya. Karena sudah adanya cahaya ma’rifah itulah, maka selanjutnya
akan menyebabkan seseorang akan mempunyai keistimewaan (karamah). Salah
satu hadits Nabi Muhammad saw senantiasa dirujuk dalam literatur sufi untuk
mendukung eksistensi karamah, “Haba-hamba-Ku tidak bertaqarrub
kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Kusenangi dari ibadah yang telah Aku
wajibkan kepadanya, dan hamba-Ku selalu bertaqarrub kepada-Ku dengan amal
ibadah sunnah sampai Aku cinta kepadanya. Apabila Aku telah mencintainya, maka
Akulah pendengarannya yang dia buat mendengar, Aku adalah penglihatannya yang
dia buat untuk melihat, Aku adalah tangannya yang dia buat untuk memegang
dengan keras, dan Aku adalah kakinya yang dia buat untuk berjalan. Apabila dia
minta kepada-Ku, maka pastilah memberikannya dan apabila dia minta perlindungan
kepada-Ku, pasti aku melindunginya (HR Bukhari).
Kemudian
apabila dipandang dari dimensi perwujudannya, karamah wali itu
dapat dibagi menjadi dua jenis. Pertama, karamah hissiyyah yaitu karamah
yang berhubungan dengan indera, seperti berjalan di atas air dan mengobati
orang sakit tanpa menggunakan diagnosis medis. Kedua, karamah maknawi, yaitu
karamah wali yang terkait dengan bimbingan ruhani (spiritual)
secara langsung dibimbing oleh Nabi Muhammad saw., yang dalam literatur tasawuf
disebut dengan talqin barzakhi, dan atau petunjuk-petunjuk Ilahiyah yang
secara langsung disampaikan kepada wali (nûr al-ladzi yaqdzifuhu
Allah fî qalb al-‘abd bi ghair hassah wa la wasithah). Kedua jenis karamah
tersebut, sebagaimana telah diinformasikan oleh beberapa penulis
sejarah perkembangan Islam di Tatar Sunda dan tanah Jawa pada umumnya, dan juga
sebagaimana dilukiskan dalam naskah-naskah babad, melekat pada ketokohan Syarif
Hidayatullah. Di dalam Babad Tanah Sunda, misalnya, banyak dilukiskan
tentang peristiwa-peristiwa historis yang menunjukkan tentang adanya karamah
dalam diri Syeikh Syarif Hidayatullah.
Salah satu
peristiwa yang menunjukkan adanya karamah hissiyyah yang dinisbahkan
kepada Syarif Hidayatullah adalah sebagaimana dilukiskan dalam Babad Tanah
Sunda dan Babad Cirebon. Disebutkan bahwa suatu ketika, Syarif
Hidayatullah muda hendak menunaikan rukun Islam kelima (haji) ke Baitullah. Ia
dibekali oleh ibunya (Larasantang atau Syarifah Mudaim) uang sejumlah seratus
dirham. Di tengah perjalanan, ia dihadang sekelompok perampok (penyamun). Tanpa
basa-basi, semua uang pemberian ibunya sebanyak seratus dirham, ia berikan
kepada para penyamun tersebut. Para penyamun tidak merasa puas dengan tindakan
Syarif Hidayatullah, mereka menyangka bahwa ia membawa uang lebih dari sekedar
yang diberikannya kepada mereka. Mereka terus memaksanya untuk memberikan harta
yang dibawanya. Melihat hal tersebut, Syarif Hidayatullah malah tersenyum dan
menyuruh mereka untuk melihat ke sebuah pohon, “Ini ada satu lagi, sebuah pohon
dari emas, bagilah di antara kawan-kawanmu”. Ternyata, pohon yang ditunjuknya terlihat
seperti terbuat dari emas. Para penyamun semakin penasaran dan mereka terus
mengikuti Syarif Hidayatullah untuk meminta rahasia dari kelebihan Syarif
Hidayatullah. Akhirnya mereka masuk Islam dan menjadi murid dari Syarif
Hidayatullah. Masih dalam buku yang sama, disebutkan bahwa ketika berangkat
dari Mesir ke Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah tidaklah menggunakan perahu,
tetapi ia justru berjalan di atas air laut.
Dalam Serat
Walisana dengan langgam durma diceritakan pula sebuah peristiwa yang
dinisbahkan kepada Syeikh Syarif Hidayatullah dan masih menunjukkan karama kewaliannya.
Peristiwa itu terjadi pada sebuah peperangan antara pasukan wali sanga (Demak)
dengan para tentara Majapahit. Dalam peristiwa itu diceritakan bahwa para wali
mengeluarkan karamah masing-masing. Dalam peristiwa tersebut,
diceritakan bahwa Syeikh Syarif Hidayatullah mengeluarkan surbannya dan setelah
dikibaskan, maka muncul bala tentara tikus yang tidak terbilang banyaknya (tikus
maketi-keti / andeleg marang jroning pabarisan/ kumarep angerobi…) menyerang
bala tentara Majapahit sehingga mereka panik dan berantakan.
Masih banyak
cerita lain berkenaan dengan karamah hissiyyah yang dilekatkan
pada tokoh satu ini. Mungkin saja, kalau dipahami dari sudut pandang logika
rasional empiris, peristiwa-peristiwa tersebut tersebut dianggap sebagai
sesuatu yang irrasional, mitos, atau legenda, atau paling tidak
hanya dianggap sebagai sesuatu yang personal dan sulit dicari pembuktian
empirisnya. Akan tetapi, jika dilihat dari perspektif tasawuf,
peristiwa-peristiwa tersebut merupakan hal yang mungkin dan masih dalam
kerangka sunnatullah. Dalam hal ini, banyak berita gaib yang
diinformasikan oleh al-Qur’an dan Hadits Nabi saw. yang dapat dijadikan
sandaran argumentasi atas terobosan cahaya Ilahi wali Allah yang kharik
al-‘adah dan tidak berada dalam tataran sunnatullah yang common
sense. Misalnya, karamah terjadi pada Maryam binti Imran yang
mendapat hidangan dari surga. Tatkala melahirkan Nabi Isa a.s., Maryam pun
mendapatkan kurma yang didapatkannya dari pohon kurma yang telah mengering (QS
Maryam ayat 25 dst). Begitu pula peristiwa yang terjadi pada Asof bin Barkhoya,
panglima tentara Nabi Sulaiman a.s. yang mampu memindahkan istana Ratu Bilkis
dari Saba (Yaman) ke negeri Syam (Syiria) dalam tempo sekejap mata (QS al-Naml
ayat 38-40).
Adapun
peristiwa-peristiwa yang menunjukkan adanya karamah maknawi pada diri
Syeikh Syarif Hidayatullah adalah beberapa peristiwa yang menjelaskan
pertemuannya dengan pada nabi, di antaranya Nabi Ilyas a.s. dan terutama
pertemuannya dengan Nabi Muhammad saw. Dalam perjumpaan (ruhani) tersebut, ia
menyerap bimbingan dan mendapatkan pengukuhan tentang maqam yang diraihnya.
Diceritakan dalam Babad Tanah Sunda Babad Cirebon bahwa Syeikh Syarif
Hidayatullah mengaku pernah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dan sekaligus
mendapat wejangan dari Nabi saw. berbunyi, “Jangan menghebat-hebatkan dan
mengunggul-unggulkan sesuatu yang tiada amal kebajikan dan janganlah menduduki
yang bukan maqamnya”. Diceritakan pula bahwa Nabi Muhammad saw. pernah
mengajarkan tentang syahadat lathifat al-sirr (atau dalam literatur sufi
disebut manhaj al-dzikr) sekaligus mengukuhkan Syeikh Syarif
Hidayatullah sebagai insân al-kâmil dan atau wali quthb, yang
secara lengkap berbunyi, “Aku memberi gelar insân al-kâmil, menjabat sebagai
wali quthb, sebagai wakil mutlak-ku”.
Terjadinya karamah
maknawi sebagaimana dialami oleh Syeikh Syarif Hidayatullah, apabila
merujuk literatur tasawuf yang membahas tentang kewalian, hal tersebut bukanlah
merupakan hal yang aneh melainkan sesuatu yang biasa (lazim). Bahkan
banyak para sufi yang mengaku telah mengalami hal serupa, terutama bertemu dan
mendapat pengajaran dari Nabi Muhammad saw. Di antara mereka adalah Syeikh Ibn
al-‘Arabi, Syeikh Abu Madyan al-Maghribi, Syeikh Abd al-Rahman
al-Qunawi, Syeikh Musa al-Zawawi, Syeikh Abu Hasan Syadzili, Syeikh Abu
al-Abbas al-Mursi (686 H), Syeikh Abu Su’ud bin Abi al-‘Asya’ir, Syeikh Ibrahim
al-Mabtuli (682 H), Syeikh Jalal al-Din al-Suyuthi (911 H), Syeikh Ahmad Zawawi
(812 H), Syeikh Sayyidina Ali al-Khawashi, Syeikh Sayyid Ahmad al-Rifa’I,
Syeikh Sayyid Abu al-Abbas al-Thanji, Syeikh Abd al-Aziz al-Dhabagi, Syeikh Nur
al-Din al-Suni, dan al-Thawwasi (1165 H).
Menurut K.H.
Badri Masduki, seorang Muqaddam tarekat Tijaniyah Probolinggo, pertemuan
para wali dengan Nabi Muhammad saw. dalam keadaan jaga merupakan karunia
Allah sebagai tabsyir untuk hamba-hamba-Nya yang shalih. Ia mengutip
sebuah ayat al-Qur’an surat Yunus ayat 63, “Allah akan memberikan
kegembiraan kepada mereka di dunia dan akhirat“. Syeikh Jalal al-Din
al-Suyuthi memberikan penjelasan tentang ayat ini terutama kata lahum
al-busyra dengan ru’ya al-shalihah. Selanjutnya dikatakan bahwa
Allah memperlihatkan ru’ya al-shalihah tersebut dalam keadaan
jaga. Di antara ru’ya al-shalihah tersebut adalah pertemuan dengan
Rasulullah saw. K.H. Badri Masduki pun berpendapat bahwa pertemuan seorang wali
dengan Nabi Muhammad saw. merupakan salah satu dari karamah para wali.
Hal ini berarti bahwa bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dalam keadaan
terjaga (yaqzah) merupakan karamah yang hanya dapat dilakukan
oleh manusia-manusia pilihan yang telah mencapai maqam ma’rifah.
Untuk lebih
jelas, di sini dikutipkan beberapa pengakuan beberapa wali yang menyatakan
bahwa ia telah bertemu dengan Nabi Muhammad saw. Pertama, Syeikh Jalal
al-Din al-Suyuthi (w. 911 H; t.t.:44), mengaku telah melihat Nabi Muhammad saw.
dalam keadaan jaga. Ia berkumpul dengan para rasul lainnya lebih dari tujuh
puluh kali. Pengakuan ini menunjukkan bahwa pertemuan bersama Rasulullah
berlangsung dalam keadaan jaga.
Kedua, Syeikh Abi Hasan al-Syadzali (w. 686
H), mengungkapkan pengalamannya, “Ma katabtu harf fi hidzb min ahzâb illa bi
amr Rasulullah saw (Aku tidaklah pernah menulis satu huruf pun dari hizb-hizbnya
[kumpulan do’a] kecuali atas perintah Rasulullah. Pengakuan ini menegaskan
bahwa do’a-do’a hizb yang ditulisnya diakui bersumber langsung dari
Rasulullah.
Ketiga, Syeikh Ibrahim al-Matbuli (w. 682 H)
mengaku dan menyatakan, “Laisa lî syaikh illa Rasul Allah saw. (Aku
tidak mempunyai guru kecuali Nabi Muhammad saw.)”.
Keempat, Syeikh Abd al-Qadir al-Jilani (w
561 H) mengaku berdialog dengan Nabi Muhammad saw. untuk meminta petunjuk dalam
rangka menghadapi jamaah yang ingin mendapat bimbingannya.
Kelima, Syeikh Abu al-Abbas al-Mursi
pernah berkata, “Kalau Nabi Muhammad saw. hilang dari pandanganku selama
sedetik, maka saya tidak merasa menjadi muslim”.
Keenam, Syeikh Ahmad al-Zawawi telah mengaku
bercakap-cakap dan berkumpul dengan Nabi Muhammad saw.
Pengakuan pengalaman
para wali tersebut menunjukkan bahwa bimbingan Nabi Muhammad saw. tidak pernah
putus dengan wafatnya beliau. Dalam melihat pengalaman para wali tersebut,
pengarang al-Mizan menjelaskan bahwa dalam keadaan jaga ruh para wali
Allah dapat ijtima (berkumpul) dengan ruh Rasulullah saw. untuk
mendapatkan bimbingan langsung dari beliau, dan hal itu mungkin terjadi dalam
keadaan jaga. Penjelasan ini menegaskan bahwa komunikasi spiritual antara wali
dengan nabi Muhammad saw. tidaklah putus. Bahkan dalam Tanbih al-Muqatarin dikatakan
bahwa apbila wali mengalami kesulitan dalam melakukan mujahadah, maka
mereka menghadapkan ruhnya kepada nabi Muhammad saw. dan apabila telah hadir di
hadapannya, mereka memohon bimbingan dan petunjuk dari Nabi mengenai kaifiyat
amalan yang dilakukannya.
Menurut
keyakinan para wali Allah, sebagaimana dikatakan Sayyid Ali al-Khawwas (w.
291), berkumpul dengan Nabi Muhammad saw. dalam keadaan jaga merupakan bukti
kesempurnaan ma’rifah seorang wali atau dalam arti khusus wali Allah.
Lebih jauh, ia mengatakan bahwa la ya’lamu abd fî maqâm al-irfân hatta
yashira yajtami’ bi Rasul Allah saw. yaqadhaz wa musyafahah” (Seorang hamba
belum dapat dikatakan sempurna di dalam ma’rifah, sampai ia berkumpul dengan
Rasulullah saw. secara langsung dalam keadaan jaga). Pendapat ini
menegaskan bahwa bertemu dengan Nabi Muhammad saw. dalam keadaan jaga merupakan
salah satu kesempurnaan ma’rifah. Ini berarti pengalaman tersebut hanya
akan diperoleh seorang wali yang telah melewati maqamat secara bertahap
melalui tarbiyah spiritual sampai maqam ma’rifah.
Dalam al-Jaisy
al-Kafil dikatakan bahwa apabila seorang wali telah bertemu dengan nabi
Muhammad asw. Secara yaqzah, maka hatinya merasa tegar dalam arti
sedikit sekali kemungkinan maqam yang telah dilaluinya dicabut,
lebih dari itu ia akan tambah yakin bahwa ada kemungkinan meraih maqam yang
lebih tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertemuan dengan Nabi
Muhammad saw. dalam keadaan jaga merupakan hal yang didambakan oleh para wali.
Mereka meyakini bahwa apabila hal tersebut belum dialami, maka hati mereka
tidak akan tenang. Karena menurut keyakinan mereka, hal ini erat kaitannya
dengan maqam yang telah diraihnya, dalam arti apabila hal tersebut belum
dialami oleh seorang wali, maka maqam wali bersangkutan masih ada
kemungkinan dicabut kembali oleh Allah atau maqam yang telah diraihnya tidak
akan meningkat. Hal lain, menurut hemat saya, pertemuan wali dengan Rasulullah
saw. dalam keadaan jaga adalah dalam rangka meningkatkan ketegaran lahir batin bagi
tugas-tugas yang diamanatkan oleh Nabi Muhammad saw. kepadanya, yaitu perintah
untuk melaksanakan dakwah di jalan Allah. Sebagai komparasi, apabila Nabi
diberi wahyu dan mu’jizat untuk ketegaran dakwahnya, maka wali diberi bimbingan
oleh Nabi saw. melali pertemuan barzakiyah secara yaqzah.
Jelaslah
bahwa pengakuan Syeikh Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nabi Muhammad saw.
dan mendapat bimbingan darinya menunjukkan dirinya telah mencapai kesempurnaan ma’rifah.
Di antara ciri-ciri yang telah mencapai kesempurnaan ma’rifah adalah
ia melakukan dakwah melalui pendekatan hikah (bijaksana), yakni mengajak
umat manusia ke jalan Allah sesuai dengan kemampuan akalnya (‘an yukhatib
al-nas ‘ala qadr uqulihim).
Di antara
bukti pendekatan hikmah dalam dakwah Syeikh Syarif Hidayatullah tercermin dalam
kisah berikut yang dituturkan Sulendraningrat dalam Babad Tanah Sunda, Babad
Cirebon (t.t.:54). Pada suatu hari para wali songo mengadakan
pertemuan setelah perang Demak melawan Brawijaya (raja Majapahit akhir). Pada waktu
itu, Pangeran Kudus datang ke tempat pertemuan tersebut dengan membawa tawanan
perang, di antaranya adalah Dipati Teterung. Pangeran Kudus berkata bahwa
semoga para wali menerima semua tawanan tersebut. Namun untuk kasus Dipati
Teterung, Pangeran Kudus memohon agar Dipati tersebut dihukum pancung, karena
telah membunuh Sunan Ngudung. Namun Syeikh Syarif Hidayatullah berpendapat
lain; dengan bijak ia menyarankan agar Dipati tersebut diampuni dan dianjurkan
untuk memeluk agama Islam. Menyoal gugurnya Sunan Ngudung, Syeikh Syarif
Hidayatullah menyebutnya sebagai sebuah upaya penyempurnaan derajat kewaliannya
sebagai syuhada fi sabil Allah.
Terdapat
bukti lain yang menunjukkan tentang kebijaksanaan yang ditempuh oleh Syarif
Hidayatullah dalam melakasanakan dakwahnya. Di antaranya, disebutkan oleh Wiji
Saksono (1995:97) bahwa, Syeikh Syarif Hidayatullah telah memperbaiki doa
mantra (pengobatan batin) firasat, dan jampi-jampi (pengobatan lahir) dan
hal-hal yang berkenaan dengan pembukaan hutan ataupun dalam pembukaan dan
pembangunan wilayah baru. Dengan cara ini, menurut Sulendraningrat (t.t.:
85-86), banyak orang Cirebon dan sekitarnya memeluk Islam.
Diceritakan
oleh Sulendraningrat (t.t.: 85-86) bahwa suatu ketika, Syeikh Syarif
Hidayatullah bertanya kepada Pangeran Kuningan tentang cara-cara mengIslamkan
raja-raja Pasundan. Pada waktu itu Pangeran Kuningan menjawab bahwa dirinya
memiliki suatu jimat yang dapat mendatangkan bala tentara yang banyak dengan
cara mengumpulkan kerikil dan jamur merang yang ditetesi dengan jimat cupu
tirta bala. Setelah dilakukan uji coba, maka tiba-tiba muncul bala tentara yang
sangat banyak dan memenuhi alun-alun Cirebon. Peristiwa ini menimbulkan rasa
kaget dan heboh di kalangan penduduk Cirebon. Lalu Syeikh Syarif Hidayatullah membacakan
do’a tolak bala. Tatkala selesai berdoa tersebut, maka bala tentara Pangeran
Kuningan itu seketika hilang dan kembali ke asalnya. Syeikh Syarif Hidayatullah
berkata, “Dipati Awangga, telah aku bacakan do’a tolak bala, karena itu bala
tentara ciptaan itu hilang. Bala tentara ciptaan itu sungguh tidak ada gunanya
bagi tentara auliya.
Apabila
dilihat dari segi ciri-ciri kewalian sebagaimana telah diuraikan di atas, maka
jelas bahwa Syarif Hidayatullah merupakan salah seorang wali yang telah
mencapai maqam ma’rifah. Karenanya sangat tepat bila para wali lainnya
di tanah Jawa menganggapnya sebagai wali quthb (poros). Demikianlah,
ciri-ciri kewalian yang ditampilkan Syarif Hdiayatullah, yang kesempurnaan
ma’rifahnya diupayakan untuk meraih posisi waratsat al-anbiyâ (pewaris
Nabi). Untuk itu ia memandang penting arti penting tampilnya sorang wali di
tengah-tengah masyarakat, hal ini merupakan bentuk lain dari ketaatan kepada
Allah dan Rasulnya.
Demikian setitik
tampilan dari seorang waliyullah yang tentunya baru ditelusuri secara terbatas
di tengah tengah lautan samudera kearifan yang tidak bertepi dari sang wali
Allah yang agung ini. Semoga tulisan ini memberikan sejumput hikmah dalam upaya
menelusuri sejarah aktual dari pencapaian nilai-nilai agung spiritualitas Islam
yang terdapat dalam diri dan ketokohan Syeiikh Syarif Hidayatullah. Akhinya
sungguh sangat baik apabila tulisan ini dtutup dengan salah satu untaian doa. Allahumma
syurna fî zumrat al-auliya wa amdadna bi madadihim (semoga Allah menjadikan
kami termasuk golongan wali-wali Allah dan semoga kita mendapatkan berkah
karamahnya dari mereka). Amin.