Posted by : Unknown
Monday, February 27, 2017
MEMBICARAKAN
tokoh panutan suatu kelompok masyarakat tertentu, merupakan sesuatu yang tetap
menarik, sekaligus menantang. Kian sedikit sumber yang tersedia, akan kian
bertambah pula tantangan yang dihadapi. Misalnya saja, benarkah embaran yang
tersaji dalam berbagai sumber yang keshahihannya masih perlu disawalakan lebih
lanjut.
Sunan Gunung
Djati (SGD) yang menjadi tokoh panutan masyarakat Cirebon khususnya dan
sebagian masyarakat Sunda umumnya, termasuk ke dalam kategori itu. Dalam pada
itu, hingga saat ini sumber yang dikaithubungkan dengan Sunan Gunung
Djati pada umumnya termasuk kategori sumber yang keshahihannya masih
perlu disawalakan lebih lanjut itu. Sumber yang tersedia itu berupa (a) data
kepurbakalaan, (b) data kesejarahan, (c) data kesastraan, dan (d) data tradisi
lisan (baik yang menonjolkan segi keagamaan, kenegaraan, maupun
kemasyarakatan).
Data
Arkeologis
LAPORAN
pertama mengenai gugus makam Sunan Gunung Djati dan siapa saja yang dimakamkan
di sana dibuat oleh F. Roo de la Faille dalam tulisannya “Legende bij de
terreinachets van de heilege begraafplaats Goenoeng Djat” yang dimuat
dalam NBG jilid 58, Lampiran X, diterbitkan tahun 1920 (Irma M. Johan
1997:21).
Makam Sunan
Gunung Djati dan kerabat dekatnya terletak di bagian puncak bukit Sembung, yang
ditandai oleh pintu 9. Menurut salah satu bahan rujukan, di situ terdapat 10
makam, yaitu makam Sunan Gunung Djati (1), Fatahillah atau Fadhilah Khan
(2), Syarifah Muda’im atau Nyi Mas Rarasantang (3), Nyi Gedang
Sembung atau Nyi Quraisyin (4), Nyi Mas Tepasari (5), Pangeran dipati Cirebon
atau Pangeran Swarga (8), Pangeran Jakalelana (9), Pangeran Pasarean
(10), Ratu Mas Nyawa (11), dan Pangeran Sedang Lemper (12). Di
halaman-halaman berikutnya ditandai oleh pintu masuk, terletak makam lainnya
sehingga jumlahnya mencapai 29 buah (termasuk yang berupa sukugugus dalam gugus
makam Sunan Gunung Djati seluruhnya) (Hasan Basyari, 1989:25-26).
Dalam
kaitannya dengan makam dua tokoh utama yang hingga kini pun masih disawalakan,
terdapat kesesuaian embaran dengan apa yang dikemukakan dalam sumber rujukan
lain, yang menyatakan bahwa Sunan Gunung Djati (Syarif Hidayatullah) wafat di
Cirebon, dikebumikan di Puncak Gunung Sembung dan Fadhillah Khan
dikebumikan di sebelah timur makam Sunan Gunung Djati (Sulendraningrat,
1978:22). Dalam tulisanya yang lain, P.S. Sulendranigrat menyatakan bahwa makam
Fadhillah Khan letaknya “tidak jauh dari gugus makam Sunan Gunung Djati …”
(1975:20). Dalam pada itu, Hasan Muarif Ambary dalam tulisannya berjudul Establishment
of Islamic Rule in Jayakarta menyertakan denah gugus makam Sunan Gunung
Djati. Dalam denah itu makam Sunan Gunung Djati dan Fadhillah Khan mengapit
makam Nyi Ratu Tepasari (1983:110), berbeda dengan denah Hasan Basyari.
Semua sumber
rujukan itu dengan pasti menyatakan bahwa di puncak gunung itu terdapat dua
makam dari dua nama tokoh yang sejak tahun 1913 dinyatakan sebagai nama dari
seorang raja. Artinya, nama-nama Fadhillah Khan, Fatahillah, Faletehan, atau
bahkan Tagaril menurut berita Portugis, hanyalah nama lain atau alias dari
Syarif Hidayatullah (Husein Jayadiningrat 1913).
Gambaran
“pasti” yang diberikan oleh para pelapor mengenai gugus makam Sunan Gunung
Djati itu, di satu pihak memberikan kemungkinan untuk melakukan penafsiran baru
mengenai keseluruhan kisah sejaran Cirebon. Apalagi jika dikaitkan dengan
sumber data yang lain, yang menyatakan bahwa fadhillah Khan adalah menantu
Sunan Gunung Djati dan memiliki riwayat hidup yang berbeda. Namun, di pihak
lain kepastian itu masih memerlukan pengukuhan karena kepastian itu tetap
mengandung ketidakpastian.
Masalahnya
adalah, berlainan dengan makam Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik), Maulana
Malik Ibrahim di Ampel (Surabaya), atau bahkan makam Malik as-Shalih di Pasai,
misalnya, nisan Sunan Gunung Djati dan makam lain di atas pintu 5, tidak ada
satupun yang memberikan embaran mengenai siapa yang dimakamkan di bawah nisan
itu. Jangankan segala puja dan puji terhadap tokoh yang dimakamkan itu, namanya
saja pun tidak tercantum. Pada nisan kepala itu tercantum kalimah syahadat,
baik yang lengkap maupun bagian intinya saja.
Jadi,
bagaimana caranya agar khalayak yakin bahwa makam itu memang makam Sunan Gunung
Djati dan tokoh-tokoh pendiri Cirebon? Prasasti dan sumber sejarah lain yang
muasir tidak ada, sedangkan penggalian arkeologis mustahil dilakukan.
Sebaliknya, yang banyak adalah sumber berupa naskah yang berasal dari masa yang
(jauh) lebih kemudian (termasuk karya “Panitia” Wangsakerta 1677-98), tradisi
lisan dan kepercayaan masyarakat, dan sumber sejarah dari derajat ketiga atau
yang lebih lemah lagi.
Dengan
demikian, barangkali, diperlukan pembuktian terbalik oleh mereka yang tidak
mempercayai sumber-sumber yang tersaji itu. Artinya, mereka yang tidak percaya
akan keberdaan Fadhillah Khan dari Sunan Gunung Djati harus dapat membuktikan
bahwa kebedaan itu memang salah.
Data
Kesejarahan dan Kesastraan
PADA
dasarnya, sumber utama dan pertama sejarah adalah tulisan atau aksara, terutama
yang merupakan “rekaman” dari suatu peristiwa, ihwal, atau tokoh sejarah dari
suatu masa dan dari suatu tempat. Namun, jika tanpa pembatasan yang ketat,
sejarah akan berubah menjadi “keranjang sampah” yang menampung segala macam
tulisan atau aksara itu. Agar diperoleh fakta yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah, data yang tersedia itu haruslah dipilah dan dipilih dengan cara
tertentu yang disebut dengan metode sejarah. Maka para ahli dan peneliti
sejarah pun merumuskan empat tahap penelitian sejarah, diawali dengan
heuristika, melalui kritika dan penafsiran sehingga akhirnya menghasilkan
sebuah historiografi mengenai apa yang hendak dikaji itu.
Data sejarah
yang tercatat dalam sumber sejarah yang kian mendekati masa terjadinya suatu
peristiwa, ihwal, atau masa hidup seorang tokoh, makin lebih mungkin untuk
dipercaya. Hal ituah yang antara lain menyebabkan para peneliti sejarah
Indonesia Kuna, misalnya, secara apriori mempercayai kebenaran embaran yang
tercantum dalam prasasti dibandingkan dengan yang tercantum dalam naskah.
Padahal, tidak jarang embaran yang tercantum dalam kedua jenis sumber sejarah
itu pada dasarnya sama. Jika embaran prasasti biasanya langsung mereka terima
sebagai suatu “kebenaran”, lembaran naskah mereka terima sebagai sesuatu yang
sangat meragukan.***
Sumber: Artikel dipresentasikan pada Seminar Nasional “Sejarah Sunan Gunung
Djati dan Pengembangan Pariwisata Sejarah Budaya Islam” Keraton Kasepuhan
Cirebon, 22-23 April 2001
Baca Juga :