Posted by : Unknown
Thursday, February 23, 2017
“Haolan” dan Solidaritas Sosial
SALAH SATU tradisi masyarakat Muslim Indonesia yang erat kaitannya
dengan Hari Raya Idul Fitri adalah “haolan” atau “haol”. Dalam satu atau
dua dasawarsa belakangan ini, paling tidak di masyarakat Sunda, tradisi
ini rasanya semakin ramai.
Istilah ‘haolan’ berasal dari bahasa Arab, hawl, yang artinya daur
dalam satu tahun. Dengan demikian, haolan dapat diterjemahkan sebagai
‘tahunan’. Haolan memang mengacu kepada waktu, bukan kepada jenis
kegiatan. Itulah sebabnya segala kegiatan rutin tahunan dapat disebut
‘haolan’. Tetapi paling tidak, ada dua hal yang dikenal luas sebagai
haolan. Pertama, haolan yang diadakan untuk
mengumpulkan karib kerabat (reuni keluarga besar), sebagai perwujudan
silaturrahim. Kedua, haolan untuk memperingati wafatnya seseorang.
Sudah barang tentu, pada haolan jenis kedua pun terjadi juga reuni
keluarga. Bedanya dalam tujuan dan waktu pelaksanaannya. Haolan jenis
pertama dimaksudkan sebagai acara temu kangen antar anggota keluarga.
Acara ini biasanya dilaksanakan beberapa hari pasca idul fitri.
Sedangkan haolan jenis kedua, diadakan untuk mengenang wafatnya
seseorang, dan tentu saja diadakan sesuai tanggal dan bulan wafat orang
tersebut.
Adapun tulisan ini mengacu kepada jenis haolan yang disebut pertama,
yaitu silaturrahim pasca lebaran. Pada beberapa keluarga, haolan jenis
ini, lazim pula disebut “pertemuan”. Tidak begitu jelas, kenapa
-sebagian- orang Sunda itu menyebut acara demikian sebagai “pertemuan”,
sebuah nama yang lebih terasa melayu ketimbang nyunda atau Arab.
Haolan demikian biasanya dilakukan oleh sebuah keluarga yang sangat
besar, yang melibatkan beberapa generasi. Keluasan cakupannya
mengakibatkan sukarnya mengorganisasikan kegiatan tersebut. Tampaknya,
hanya komitmen anggotanya -yang sebagian menetap di luar kabupaten,
provinsi bahkan mungkin pulau- saja yang memungkinkan acara itu dapat
berjalan maksimal. Selain itu, waktu pun ditetapkan sedemikian rupa, di
antaranya dipilih waktu sekira seminggu setelah lebaran. Maksudnya, agar
setiap keluarga memiliki waktu yang cukup untuk berkumpul di antara
mereka sendiri. Sebab di antara mereka, tak sedikit yang sudah memiliki
cicit, yang ketika lebaran, biasanya ramai-ramai mengunjungi mereka.
Jadi kalau acara mereka diumpamakan ‘sidang komisi’, maka haolan adalah
‘sidang paripurna’.
Upacara haolan dilakukan sebagaimana seremonial pada umumnya, yang
terdiri dari pembacaan ayat suci al-Qur’an, sebagai pembuka, tawasul
oleh ajengan sepuh, sambutan, tausiyah, dan do’a. Demikian juga acara
ini dilanjutkan dengan ‘makan-makan’. Konon, kata sebagian orang,
kegiatan yang disebut paling akhir itu tidak boleh diabaikan, sebab ia
menyangkut “kelangsungan hidup kita”.
Satu-satunya yang membedakan haolan jenis ini dari acara lain pada
umumnya adalah bahwa sebelum tausiyah, terlebih dahulu dilakukan
penyampaian runtuyan turunan (silsilah keturunan). Acara ini biasanya
disampaikan oleh anggota keluarga yang dipandang terpelajar. Tidak mesti
tua usianya, yang pasti ia mesti menguasai persoalan silsilah keturunan
itu dengan baik. Karena memang, rangkaian nasab itu bukan semata-mata
disebutkan, melainkan dalam beberapa hal, dijelaskan. Misalnya,
bagaimana seseorang pernahna kepada orang lain. Apakah ia mesti menyebut
aki, uwa, mamang, nini, bibi, euceu (teteh), dan seterusnya. Pada
masa-masa selanjutnya, diperkenalkan pula yang baru lahir, dan
disebutkan pula yang meninggal dalam satu tahun ke belakang. Selain itu,
juga diinformasikan domisili orang-orang yang disebutkan tadi, terutama
jika mereka bermukim agak jauh dari tempat tinggal asal keturunan
tersebut.
Jika berkenaan dengan dua atau tiga generasi, tentu hal tersebut
tidak terlalu jadi persoalan. Tetapi kalau sudah melibatkan “tujuh
turunan” dengan anggota yang sedemikian banyak, tentu persoalannya jadi
lain. Sebab tidak mudah mengidentifikasi mereka semua. Itulah sebabnya
pembawa materi itu pun acapkali meminta bantuan kepada keluarga yang
tengah dijelaskan itu. Kata ‘tujuh’ dalam ‘tujuh turunan’ itu tentu saja
tidak selalu harus dipahami secara harfiah, melainkan tujuh adalah
sebutan untuk mengacu kepada sesuatu yang sangat banyak, sebagaimana
dalam bahasa Arab. Sebab faktanya, keturunan yang dikumpulkan itu
seperti tiada batasannya, entah berapa generasi.
Penyebutan silsilah keturunan (syajarah al-nasab atau pohon
genealogis) menjadi acara inti dalam haolan jenis ini. Bahkan
sebagaimana telah disebutkan tadi, bahwa mata acara itulah yang
membedakan haolan tersebut dengan acara-acara lainnya.
Dalam masyarakat Sunda, pada umumnya, pengenalan atas kerabat ini
memang sangat penting. Sebab pengaruhnya akan tampak dalam interaksi
sosial sehari-hari. Terutama berkaitan dengan penyebutan nama panggilan
itu tadi. Mungkin kedengarannya agak janggal kalau pun tidak termasuk
kurang sopan, kalau misalnya seseorang seharusnya menyebut uwa menjadi
menyebut mamang atau bibi, yang semestinya akang menjadi adi. Dalam
masyarakat Sunda, sebutan adi ini digunakan sebagai sebutan untuk adik
yang dihormati, mungkin karena usia atau ilmunya. Misalnya anak paman
tapi usianya lebih tua.
Baca Juga : NU Isyarat Langit
Pengenalan atas silsilah itu pun dapat dipandang sebagai semacam
tradisi baik yang disandarkan kepada Nabi saw atau tradisi Arab pada
umumnya. Paling tidak itulah kata sebagian penceramah dengan merujuk
kepada bukti kalau orang tua Nabi saw dapat dilacak sampai jauh ke atas,
sebagaimana sering dibaca dalam Qasidah Burdah.
Di samping itu, terdapat alasan lain yang tak kalah pentingnya, yaitu
bahwa dalam Islam, konsep keluarga menjadi hal yang patut diperhatikan.
Ayat-ayat yang berkaitan dengan distribusi harta, misalnya, berkaitan
dengan soal kekerabatan. Kerabat lebih berhak untuk diperhatikan (QS.
al-Baqarah [2]: 215, al-Nisa [4]: 8; al-Rum [30]: 38; al-Balad [90]:
15). Demikian juga, keluarga menjadi orang pertama yang mesti mendapat
pengawasan (QS. al-Tahrim [66]: 6; al-Syu’ara [26]: 214, dan lain-lain).
Kerabat atau keluarga dalam ayat-ayat tadi, tentu saja dalam pengertian
keluarga dekat, dan itu memang paling berhak. Tetapi selain itu juga
termasuk keluarga yang agak jauh; dan karena jauhnya itulah, ia tidak
mudah dikenali tanpa acara semacam haolan itu. Alasan terakhir ini,
sebagaimana juga konsep silaturrahim, menjadi semacam landasan teologis
upacara tersebut.
Dengan demikian haolan merupakan sebuah ritual yang penuh makna,
sebagai pengejewantahan konsep silaturrahim. Dengan haolan diharapkan
tercipta persaudaraan yang lebih erat, sehingga pada akhirnya akan
melahirkan sikap solider, empati, kasih sayang, dan sikap-sikap baik
lainnya.
Tentu saja tradisi haolan itu telah dan akan dipahami dalam pemaknaan
semacam tadi; jadi, bukan demi kebanggaan keluarga. Sebab jika
kebanggaan itu yang muncul, maka mungkin lebih mirip persemaian fanatik
kesukuan (ashabiyah) ketimbang perwujudan silaturrahim. Haolan yang
demikian tentu saja telah kehilangan orientasinya, dan pada gilirannya
mungkin akan ditinggalkan oleh generasi mendatang, karena dipandang
sebagai upacara tak bermakna.*** (Penulis, penyuluh agama Islam ahli Kantor Departemen Agama Kabupaten Ciamis.)