Posted by : Unknown
Thursday, February 23, 2017
Perlawanan Kaum Santri, 25 Pebruari 1944
“I HAVE nothing to offer but blood, toil, tears, and sweat.” Itulah “kata-kata bersejarah” yang diucapkan Winston Churchill
pada tanggal 13 Mei 1940, tiga hari setelah dia diangkat menjadi
perdana menteri Inggris. Kata-kata itu ternyata memberi spirit yang luar
biasa kepada para pejuang Inggris untuk memenangkan Perang Dunia ke-2.
Empat tahun kemudian, di tempat nun jauh di Timur, di mana jam
menunjuk angka enam jam lebih cepat, “kata-kata bersejarah” itu menjadi
fakta sejarah. Pada tanggal 25 Februari 1944, yang jatuh pada hari
Jumat, di sebuah kampung di daerah
Singaparna, Tasikmalaya, terjadi sebuah peristiwa heroik. Ratusan santri
terlibat dalam pertempuran dan perkelahian jarak dekat. Namun, dua
kekuatan itu jelas tidak seimbang. Senapan mesin, pistol, dan granat
pasukan Jepang (meskipun personelnya adalah bangsa kita juga) berhadapan
dengan pasukan K.H. Zaenal Mustofa yang
hanya bersenjatakan bambu runcing, pedang bambu, dan batu. Hanya dalam
waktu sekitar satu setengah jam saja, pertempuran itu berakhir tragis.
Para santri yang gugur dalam pertempuran berjumlah 86 orang.
Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di
penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Hilang tak tentu
rimbanya (kemungkinan besar dibunuh tentara Jepang), termasuk K.H. Zaenal Mustofa,
sebanyak 23 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38
orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak
10 orang. Para santri ini tidak memiliki apa-apa untuk memperjuangkan
kemerdekaan negeri ini, kecuali darah, kerja keras, air mata, dan
keringat, seperti kata Winston Churchill di atas.
Sebagai penghargaan atas jasa dan pengorbanannya, pemerintah mengangkat K.H. Zaenal Mustofa sebagai pahlawan nasional dengan SK Presiden No. 064/TK/1972.
Makna
PERISTIWA heroik dan tragis itu telah berlalu enam dasawarsa lebih.
Apakah gunanya mengungkit-ungkit kembali peristiwa yang menyedihkan itu?
Manakala sebuah kisah sejarah ditampilkan kembali, tentu bukan
sekadar untuk mengenang sesuatu yang sudah lewat, atau mengenang
gugurnya para pahlawan. Sejarah berfungsi edukatif, agar manusia
sekarang mau belajar dari masa lalu, meneladani apa yang baik,
meninggalkan yang tidak baik, memetik hikmah suatu peristiwa, menghargai
jasa mereka yang berjuang tanpa pamrih, belajar dari kegagalan,
kekalahan, dan mencintai negeri.
Kalau saja kita tahu, bagaimana kemerdekaan negeri ini diperjuangkan,
sudah bisa diprediksi bahwa paling tidak kita akan memiliki rasa cinta
tanah air, memiliki jiwa patriotis sehingga kita tidak akan meruntuhkan
negeri yang sudah dibangun selama 63 tahun ini, dengan cara
menggerogotinya beramai-ramai.
Salah satu peristiwa heroik yang perlu kita ketahui adalah usaha para santri pimpinan K.H. Zaenal Mustofa
melawan fasisme Jepang, yang terjadi pada tanggal 25 Februari 1944 itu.
Mungkin sudah banyak yang mengetahui kisah ini, namun tidak ada
salahnya untuk ditampilkan kembali.
Santri Sukamanah
K.H. ZAENAL MUSTOFA yang dilahirkan pada
tahun 1899 di Kampung Bageur, Desa Cimerah (sekarang bernama Desa
Sukarapih), Kecamatan Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, sejak tahun
1927 mendirikan Pesantren Sukamanah. Kiai yang menjadi wakil ketua NU
Kabupaten Tasikmalaya ini, dalam setiap dakwahnya, selalu menyerang
kebijakan-kebijakan politik kolonial Belanda dengan kata-kata yang
pedas. Oleh karena mata-mata penjajah ada di mana-mana, akibatnya, kiai
yang telah belajar di berbagai pesantren selama 17 tahun ini sering
mendapat peringatan. Kadang-kadang pidatonya dilarang untuk dilanjutkan,
apabila ia tengah mengupas kekejaman serta kepalsuan politik kolonial
Belanda.
Tanggal 17 November 1941, K.H. Zaenal Mustofa, bersama Kiai Rukhiyat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei
ditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut rakyat, untuk
memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka dipenjarakan di
Tasikmalaya selama satu hari, kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin
di Bandung.
Setelah dibebaskan, K.H. Zaenal Mustofa tidak berubah. Kembali ia berdakwah yang isinya jelas-jelas menentang penjajah. Pada akhir bulan Februari 1942, ia dan Kiai Rukhiyat
kembali ditangkap dan ditahan di penjara Ciamis. Kedua ulama ini
menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya yang pertama.
Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan
Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru
ini, K.H. Zaenal Mustofa dibebaskan dari
penjara, dengan harapan ia akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan
ambisi fasisnya, yaitu menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia
Timur Raya. Akan tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah
terwujud, karena K.H Zaenal Mustofa dengan
tegas menolak. Bahkan kepada para santrinya, ia memperingatkan bahwa
fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda.
Suatu ketika, semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di
alun-alun dan semua diwajibkan menghormat (seikerei) ke arah Tokyo. Di
bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa melakukan perintah itu,
hanya K.H. Zaenal Mustofa yang tetap membangkang. Bahkan, ia berkata kepada Kiai Rukhiyat
yang hadir pada waktu itu bahwa perbuatan tersebut musyrik. Kepada para
santri dan pengikutnya, ia juga mengatakan, lebih baik mati ketimbang
menuruti perintah Jepang.
Tindakan pemerintah pendudukan Jepang yang juga sangat memberatkan
rakyat adalah, penerapan politik beras atau kewajiban menyerahkan beras
kepada Jepang yang sangat merugikan rakyat. Rakyat kelaparan. Bahkan
banyak yang menderita busung lapar. Selain itu, banyak kaum wanita
ditipu. Mereka dijanjikan akan disekolahkan di Tokyo sehingga banyak
yang mendaftarkan diri, ternyata mereka dikirim ke daerah-daerah
pertempuran seperti Birma dan Malaya dan dijadikan sebagai wanita
penghibur tentara-tentara Jepang (jugun ianfu).
Akhirnya, K.H. Zaenal Mustofa memutuskan
untuk melakukan perlawanan terbuka terhadap kekejaman fasisme Jepang.
Bersama para santrinya ia merencanakan suatu gerakan yang akan dilakukan
pada tanggal 25 Februari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan
menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan
sabotase, memutuskan kawat-kawat telefon sehingga militer Jepang tidak
dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik.
Untuk melaksanakan rencana ini, K.H. Zaenal Mustofa
meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing
dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai
juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan,
tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim
camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa
anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil.
Mereka malah ditahan di rumah K.H. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan.
Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar K.H. Zaenal Mustofa
menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak
tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, keempat opsir itu tewas
dan salah seorang santri yang bernama Nur
menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir Jepang
tersebut. Setelah kejadian tersebut, sore harinya sekitar pukul 16.00
datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah.
Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut, setelah
tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa
sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Maka
terjadilah apa yang dikisahkan pada awal tulisan ini.
Perlu dijelaskan pula bahwa sehari setelah peristiwa itu, antara
700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya.
Yang sangat penting adalah instruksi rahasia dari K.H. Zaenal Mustofa
kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan, yaitu agar
tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam
kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan
Sukamanah dipikul sepenuhnya oleh K.H. Zaenal Mustofa.
Akibatnya memang berat. Sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk K.H. Zaenal Mustofa,
dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu
rimbanya. Kemungkinan besar mereka dibunuh. Korban lainnya, seperti
telah disebutkan di atas dan sekitar 600-an orang dilepas, karena
dianggap tidak terlibat.
Baca Juga : Sejarah Santri Cirebon Yang Terlupakan
Penutup
DENGAN membaca kisah ringkas perlawanan para santri dari Pesantren Sukamanah pimpinan K.H. Zaenal Mustofa
di atas, setidaknya kita bisa melakukan refleksi sejenak. Sesungguhnya
para pahlawan itu adalah mereka yang berjuang tanpa pamrih, siap
berkorban dengan nyawanya sekali pun. Tentu saja, mereka tidak pernah
terpikir untuk mendapat gelar pahlawan nasional. Masih banyak peristiwa
heroik dari para pahlawan kita dalam upaya memperjuangkan kemerdekaan
negeri ini.
Sementara itu, kita, anak cucunya tinggal enaknya menerima warisan.
Sebuah negara yang sudah merdeka. Masalahnya adalah, apakah pengorbanan
mereka, keikhlasan mereka, harus dikorbankan oleh kita, dengan cara
menggerogoti negeri ini perlahan-lahan, dengan segala kerakusan dan
keserakahan hingga hancur sehancur-hancurnya. Marilah kita sadar sebelum
semuanya terlambat.
*** (sumber, Guru Besar Ilmu Sejarah Unpad, Ketua
Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat, dan Ketua Pusat
Kebudayaan Sunda Fak. Sastra Unpad.)