Posted by : Unknown Thursday, February 23, 2017

Ada dua pendekatan dalam proses penyebaran Islam di Jawa. Pendekatan pertama disebut “islamisasi kultur jawa”. Islamisasi kultur Jawa adalah proses pemasukan corak-corak Islam dalam budaya Jawa baik secara formal maupun substansial. Sebagai contoh adanya Islamisasi kultur Jawa adalah slametan. Menurut Quraish Syihab kata salam berarti luput dari kekurangan, kerasukan, dan aib. Kata selamat diucapkan, misalnya jika terjadi hal-hal yang tidak baik diinginkan, tetapi kejadian tersebut tidak mengakibatkan pada kekurangan atau kecelakaan. Salam atau damai yang demikian adalah “damai positif” dan juga “damai aktif”, yakni bukan saja terhindar dari keburukan, tetapi lebih dari itu, dapat meraih kebajikan atau kesuksesan.
Kehadiran Islam di Jawa dalam bingkai kebudayaan yang telah terbentuk sebelumnya dalam perpaduan kebudayaan Hindu dan kebudayaan asli (Jawa) melahirkan sikap bahwa kehadiran Islam bukanlah sesuatu yang baru untuk menggantikan yang lama akan tetapi menambahkan sesuatu kepada yang lama, sehingga Islam dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.
     Pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi Islam. Jawanisasi Islam adalah pemasukan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam ajaran-ajaran Islam. Sebagai contoh:
“Tak uwisi gunem iki Niyatku mung aweh wikan Kabatinan akeh lire. Lan gawat ka liwat-liwat. Mulo dipun prayitno Ojo keliru pamilihmu Lamun mardi kabatinan”
“Saya akhiri pembicaraan ini Saya hanya ingin memberi tahu Kebatinan banyak macamnya Dan artinya sangat gawat Maka itu berhati-hatilah Jangan kamu salah pilih Kalau belajar Kebatinan”.
Sejak masuk dan berkembangnya, Islam di Jawa memerlukan proses yang sangat panjang dan melalui saluran-saluran Islamisasi yang beragam, seperti perdagangan, perkawinan, tarekat (tasawuf), pendidikan, dan kesenia.
1.      Perdagangan
Saluran Islamisasi melalui media perdagangan sangatlah menguntungkan. Hal tersebut dikarenakan dalam Islam tidak ada pemisah antara aktivitas perdagangan dengan kewajiban mendakwahkan Islam kepada pihak-pihak lain. Selain itu, dalam kegiatan perdagangan ini, golongan raja dan kaum bangsawan lokal umunya terlibat di dalamnya. Tentu saja sangat menguntungkan, karena dalam tradisi lokal apabila seorang raja memeluk agama Islam, maka dengan sendirinya akan diikuti oleh mayoritas rakyatnya. Ini terjadi karena masih kuatnya penduduk pribumi memelihara prinsip-prinsip yang sangat diwarnai oleh hierarki tradisional.
Proses Islamisasi melalui jalur perdagangan ini dapat digambarkan sebagai berikut. Pada awalnya, para pedagang berdatangan di pusat-pusat perdagangan seperti pelabuhan-pelabuhan. Para pedagang ini selanjutnya ada yang tinggal, baik untuk sementara waktu maupun menetap. Lambat laun tempat tinggal tersebut menjadi koloni-koloni, seperti koloni China dan koloni Arab. Selanjutnya, koloni-koloni tersebut menjadi perkampungan, seperti pecinan (kampung China) dan Pakojan (kampung orang-orang dari India, yang kemudian diambil alih orang-orang Arab).
2.      Perkawinan
Perkawinan juga merupakan cara penyebaran Islam yang menonjol. para pedagang-pedagang yang mendarat di Jawa dan menetap, banyak yang akhirnya menikahi wanita-wanita lokal. Islamisasi melalui saluran ini merupakan proses pengislaman yang paling mudah. Ikatan perkawinan bagi individu yang terlibat, yaitu suami dan istri. Mereka membentuk keluarga yang menjadi inti masyarakat, yang juga membentuk inti keluarga muslim. Dari perkawinan ini, terbentuklah pertalian kekerabatan yang lebih besar antara pihak keluarga laki-laki (suami) dan keluarga perempuan (istri).
Saluran perkawinan atau keluarga merupakan saluran yang memegang peranan penting dalam proses internalisasi ajaran Islam di Indonesia, khususnya Jawa, baik dalam arti pengislaman maupun pemasukan nilai-nilai dan norma-norma Islam ke dalam lingkungan masyarakat. Islamisasi melalui perkawinan ini akan semakin menguntungkan apabila perkawinan terjadi antara saudagar Muslim, kiai, atau bangsawan yang menikahi anak seorang raja, keturunan bangsawan atau anggota kerajaan lainnya. Hal ini mengingat status sosial, ekonomi, dan politik mereka -pada konteks waktu itu- akan turut mempercepat proses Islamisasi.
3.      Tasawuf
Tasawuf juga menjadi proses penting dalam Islamisasi Jawa. Tasawuf juga termasuk kategori media yang berfungsi dan membentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia yang meninggalkan banyak bukti jelas berupa naskah-naskah antara abad ke-13 dan ke-18 M.[4] Hal ini berhubungan dengan langsung dengan penyebaran Islam di Indonesia dan memegang sebagian peranan penting dalam organisasi masyarakat di kota-kota pelabuhan. Tidak jarang ajaran tasawuf ini disesuaikan dengan ajaran-ajaran mistik lokal yang sudah dibentuk kebudayaan Hindu-Buddha. Mereka berusaha meramu ajaran Islam untuk sesuai dengan alam pikiran masyarakat lokal sehingga antara ajaran Islam dan kepercayaan masyarakat lokal tidak saling berbenturan. Di antara ahli tasawuf yang merumuskan ajarannya dan mengandung persamaan dengan alam pikiran (mistik) masyarakat Indonesia adalah Hamzah Fansuri, Syamsudin al-Sumeterani, syaikh Siti Jenar, dan Sunan Panggung. Mereka bersedia memakai unsur-unsur kultur pra-Islam untuk menyebarkan agama Isalam. Menurut A.H. Johns, ajaran Jawa, dipertahankan sedangkan tokoh-tokohnya diberi nama Islam, seperti dalam cerita Bimasuci yang disadur menjadi Hikayat Syech Maghribi. Ajaran mistik semacam itu juga terdapat pada kelompok-kelompok mistik abad ke-19, seperti Sumarah, Sapta Dharma, Bratakesawa, dan Pangestu.
4.      Pendidikan
Pendidikan juga memiliki andil yang besar terhadap Islamisasi di Jawa. Sesuai dengan kebutuhan zaman, mereka perlu tempat atau lembaga untuk menampung anak-anak mereka agar bisa meningkatkan atau memperdalam ilmu agamanya. Lembaga umum yang bisa menampung kebutuhan pendidikan, antara lain: masjid, langgar, atau komunitas yang lebih kecil, seperti keluarga. Dengan demikian, muncullah lembaga-lembaga pendidikan Islam secara informal di masyarakat. Sebelum masa kolonisasi, daerah-daerah Islam di Jawa sudah mempunyai sistem pendidikan yang menitikberatkan pada pendidikan membaca al-Qur’an, pelaksanaan shalat, dan pelajaran tentang kewajiban-kewajiban pokok agama.
Sejalan dengan proses penyebaran Islam di Jawa, pendidikan Islam mulai tumbuh, meskipun masih bersifat individual. Kemudian, dengan memanfaatkan lembaga-lembaga masjid, surau, dan langgar, mulailah secara bertahap dilangsungkan pengajian umum mengenai tulis-baca al-Qur’an dan wawasan keagamaan. Bentuk yang paling mendasar dari bentuk pendidikan ini umumnya disebut pengajian al-Qur’an. Pendidikan ini, selain yang telah disebutkan di atas, berlangsung di rumah imam masjid atau anggota masyarakat Islam yang saleh lainnya. Di tempat-tempat tersebut, anak-anak Muslim diberi bekal pengetahuan agama, pengetahuan membaca al-Qur’an dan kecakapan lainnya yang diperlukan bagi kehidupan sehari-hari sebagai seorang Muslim.
Selain itu, ada lembaga pesantren atau pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama, kiai, atau ulama. Oleh karena itu, dalam masyarakat Muslim di Indonesia, khususnya Jawa-secara tradisional- pendidikan telah dijalankan pada dua jenjang, yaitu pengajian al-Qur’an, sebagai pendidikan dasar, dan pondok pesantren, sebagai pendidikan lanjutan, walaupun keduanya secara formal tidak ada keterikatan. Lembaga ini berperan penting dalam penyebaran Islam ke wilayah-wilayah yang lebih luas. Di lembaga inilah calon guru agama, calon kiai atau calon ulama dididik dan dibina. Mereka yang telah keluar dari pesantren kemudian menuju ke kampung atau ke desanya masing-masing. Di tempat asalnya inilah mereka menjadi pemimpin agama, dan tidak jarang mendirikan pesantren baru. Tidak jarang pula para raja atau kaum bangsawan mengundang para kiai atau ulama yang diangkat sebagai guru agama bagi keluarganya. Banyak juga para kiai yang diangkat sebagai penasehat kerajaan, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk memberikan pengaruh di bidang politik kepada raja.
5.      Kesenian
Islamisasi juga dilakukan melalui kesenian, yaitu seni bangunan, seni pahat (ukir), seni musik, seni tari dan seni sastra. Seni bangunan dan seni pahat banyak dijumpai dalam masjid-masjid kuno. Di Indonesia, masjid-masjid kuno memiliki kekhasan sendiri. dalam denahnya, masjid itu berbentuk persegi atau bujur sangkar dengan bagian kaki agak tinggi dan pejal, sedangkan atapnya bertumpang dua, tiga, lima, atau lebih. Masjid tersebut dikelilingi oleh parit atau kolam air pada bagian depan atau sampingnya dan berserambi. Bagian-bagian lain seperti mihrab dengan lengkung pola kalamakara, mimbar dengan ukiran pola teratai, dan mastaka atau memolo jelas menunjukan pola-pola seni bangunan tradisional yang telah dikenal di Indonesia sebelum kedatangan Islam.
Bentuk bangunan pada masjid kuno di Jawa mengadaptasi pola-pola bangunan atau  keyakinan Hindu tersebut menunjukan bahwa Islam disebarkan dengan jalan damai. Selain itu, secara kejiwaan dan strategi dakwah, penerusan tradisi seni bangunan dan seni ukir pra-Islam merupakan alat Islamisasi yang sangat bijaksana sehingga bisa menarik orang-orang non-Islam untuk memeluk Islam sebagai pedoman hidup barunya. Hal ini dapat dijumpai dibeberapa masjid kuno yang masih mempertahankan bangunan berasiktektur Hindu. Ada juga daerah kantong Muslim yang masyarakatnya memandang tau menyembelih sapi, sebagai binatang yang disucikan oleh umat Hindu. Kota Kudus merupakan daerah sesuai dengan kedua contoh ini.
Demikian pula saluran Islamisasi melalui seni tari, seni musik dan seni sastra. Dalam upacara-upacara keagamaan, seperti Maulud Nabi, sering dipertunjukan seni tari atau seni musik tradisional misalnya sekaten yang terdapat di Kerato Yogyakarta dan Surakarta, sedangkan di Cirebon seni musik itu dibunyikan pada perayaanGrebeg Maulud. Begitu pula dengan tarian seperti dedewan, debus, birahi, dan bebeksan ditampilkan dalam upacara-upacara tertentu. Contoh lainnya adalah Islamisasi pertunjukan wayang. Konon, sunan Kalijaga merupakan tokoh yang mahir memainkan wayang. Dia tidak pernah meminta upah dalam pertunjukannya, tetapi dia hanya minta agar para penonton mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian cerita wayangnya masih diambil dari cerita Mahabharata dan Ramayana, tetapi dengan bertahap nama tokoh-tokohnya diganti dengan pahlawan Islam.
Islamisasi melalui seni juga tampak dalam bidang karya sastra. Banyak cerita babad dan hikayat yang ditulis dalam huruf JawiPegon, dan Arab. Beberapa kitab tasawuf diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan beberapa lagi ke dalam bahasa daerah lainnya. Ajaran tasawuf Hamzah Fansuri disusun dalam bentuk syair Melayu agar sudah dimengerti oleh orang-orang Indonesia yang tidak mengerti bahasa Arab atau Persia. Bentuk huruf Jawi dalam sastra Melayu yang merupakan adaptasi dari huruf-huruf Arab menjadi contoh lain dari hal ini.


Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © Fauzan Khan - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -