Posted by : Unknown
Tuesday, February 28, 2017
Pengertian
Orientalis
Sebelum
mengetahui tentang kajian para orientalis terhadap hadist. Kita harus memahami
terlebih dahulu apa yang dinamakan orientalis itu sendiri. Apakah orientalis
itu? Secara etimologi ‚orientalis‛ berasal dari bahasa Prancis yaitu orient
yang berarti timur, jika dipandang dalam aspek geografis maka orient diartikan
sebagai dunia timur, kemudian apabila dipandang dalam aspek etnografis berarti
bangsa-bangsa timur.[1]
Dalam bahasa Inggris ‚orientalis‛ atau orient berasal dari kata oriental yang
memiliki arti hal-hal yang bersifat timur, orang timur atau Asia.[2] Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
‚orientalis‛ diartikan sebagai ahli bahasa, kesusasteraan, dan kebudayaan
bangsa-bangsa timur.[3]
Dengan
demikian bisa kita tarik kesimpulan bahwa ‚orientalis‛ memiliki pengertian
sebagai pelaku atau seseorang yang ahli tentang hal-hal yang berkaitan dengan
timur atau ahli ketimuran. Sedangkan orientalisme atau orientalism 3 (oriental
+ isme), yaitu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang
berkaitan dengan bangsa-bangsa timur beserta lingkungannya.[4]
Menurut Grand Larousse seperti dikutip oleh Amin Rais, orientalis adalah
sarjana yang menguasai masalah-masalah ketimuran, bahasa-bahasanya,
kesusastraannya, dan sebagainya. Karena itu orientalisme dapat dikatakan
sebagai prinsip-prinsip tertentu yang menjadi ideologi ilmiah kaum orientalis.[5]
Sedangkan
Edward W.Said mendefiniskannya sebagai suatu gaya berpikir yang berdasarkan
pembacaan ontologis dan epitemologis yang dibuat antara timur dan barat.[6]
Edward Said menyebutkan bahwa orientalisme sebagai suatu aliran dalam keilmuan
barat yang bertujuan untuk membentuk hegemoni terhadap timur dan memperbaharui
struktur kekuasaan di Timur. Dengan kata lain, orientalisme merupakan aliran
yang bertujuan untuk melakukan kolonialisasi, imperialisme dan membentuk
hegemoni terhadap timur,[7]
yang kemudian definisi orientalisme tersebut lebih mengarah kepada kajian
terhadap Islam.
- Pandangan Orientalis Terhadap Hadist
Setelah
mengetahui pengetahuan orientalis berikut akan dipaparkan kajian hadist
menurut tokoh orientalis terkenal, Barbara
Freyer Stowasser. Dalam kajian yang dilakukan Barbara memiliki sudut pandang
dan pola berfikir yang berbeda dengan tokoh-tokoh orientalis lainnya, akan
tetapi pandangannya mengenai hadist sama-sama memilki ruang sendiri dalam ilmu
studi Islam terkhusus pada kajian terhadab Hadist.
Berikut
adalah biografi singkat dan kajian Barbara Freyer Stowasser terhadap Hadist:
- Biografi Kehidupan
Stowasser
pada dasarnya merupakan seorang tokoh feminis[8]
yang mempunyai nama lengkap Barbara Freyer Stowasser. Ia adalah seorang
profesor dan pakar dalam bidang studi islam dan arab. posisi direktur pusat
kajian Arab kontemporer juga pernah didudukinya di Universitas Georgetown,
Washington DC. Di Universitas inilah Ia merupakan orang yang memperkenalkan dan
mengembangkan tentang tafsir al-Qur’an serta orang yang memasukkan studi islam
dan gender dalam kurikulum. ia merupakan orientalis yang menganut agama Kristen
Lutheran. Dalam kesehariannya ia bekerja sebagai Professor dalam bidang Bahasa
Arab di Universitas Georgetown sejak 1966.
Dalam
perjalanan karir akademiknya, Stowasser memperoleh gelar M.A. pada studi kajian
Timur Tengah di UCLA dengan predikat magna cum laude, sedangkan gelar Ph.D, ia
dapat pada kajian Perbandingan Bahasa Semit dan Studi Islam di University of
Munster Jerman. Selain itu ia juga pernah belajar di beberapa universitas di
antaranya University of Frankfurt, Erlangen, Ankara di Turki, American
University di Kairo.[9] Sekarang
ia konsen pada diskursus Gender di dalam Tafsir dan literature-literatur fatwa.
Ia termasuk tokoh yang cukup produktif dalam menghasilkan karya, baik dalam
bentuk buku, artikel maupun jurnal ilmiah. Adapun karya-karyanya yang sudah di
cetak di antaranya:
- 1. Women in the Qur'an, Traditions and Interpretation (Oxford University Press, 1994).
- 2. The Status of Women in Early Islam, dalam Muslim Women (1984).
- 3. A Time to Reap: Thoughts on Calendars and Millennialism (2000). Dll
Dari
beberapa karyanya tersebut terlihat bahwa ia memang seorang tokoh yang menekuni
dan ahli dalam bidang feminis. Disamping ahli dalam bidang-bidang yang lain
seperti filsafat, linguistik maupun politik.
b. Pemikiran Hadis Stowasser
Sebagai
seorang orientalis, Stowasser banyak memiliki pandangan yang terkadang berbeda
dengan kaum orientalis pada umumnya. Sehingga pemikiran-pemikirannya layak
untuk dikaji. Adapun pemikiran-pemikiran tentang hadis yang layak dikaji antara
lain:
1.
Istri-Istri Nabi saw Dalam Hagiografi Hadis Awal
Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, bahwa hadis pada periode awal Islam banyak terpengaruh
dengan hagiografi dan propetologi Yahudi dan Kristen. Hal ini terbukti dengan
beberapa riwayat yang menceritakan tentang peristiwa-peristiwa yang luar biasa
yang dialami oleh istri-istri Nabi Muhammad saw. Riwayat-riwayat hadis tentang
keajaiban yang pernah dialami oleh istri-istri nabi ini menunjukkan bahwa
selain terdapat riwayat-riwayat istri nabi yang menujukkan bahwa mereka sebagai
manusia biasa, tetapi mereka juga dikaruniai kelebihan-kelebihan yang
menunjukkan keunggulan di atas wanita-wanita yang lain.
Dari
hasil analisis data-data yang dipaparkan oleh Stowasser mengenai hadis-hadis
hagiografi yang menyangkut istri Nabi dapat dipetakan menjadi dua yaitu:
a.
Riwayat tentang peristiwa ajaib sebelum menikah dengan Rasulullah.
Ada
beberapa istri Nabi yang mengalami pengalaman ajaib sebelum menikah dengan Nabi
yang mana semuannya merupakan pertanda bahwa Nabi Muhammad akan menikahinya.
Baik itu yang dialami istri Nabi ataupun Rasulullah sendiri yang mendapat
petunjuk tersebut. Di antaranya adalah riwayat Ibn Sa’ad yang mengisahkan
tentang mimpi-mimpi yang dialami oleh sebagian istri Nabi sebelum perkawinannya
dengan Rasulullah. Sebagaimana riwayat tentang Saudah ketika masih menikah
dengan suaminya yang pertama, ia bermimpi bahwa Nabi Muhammad mendekatinya dan
“menyentuhnya”, selain itu ia juga bermimpi melihat bulan jatuh padanya dari
langit, saat dia berbaring karena letih.
Ummu
Habibah juga pernah bermimpi melihat suaminya menghilang, pagi berikutnya ia
mengetahui suaminya melepas Islam (sebagian mengatakan masuk Kristen) dan suka
minum khamr dan tidak lama kemudian meninggal. Kemudian ia bermimpi mendengar
suara yang menyebutnya sebagai “Ibu-ibu kaum beriman” dan pagi berikutnya Raja
Najasi (Penguasa Abysinia) mengabarinya
bahwa Nabi Muhammad telah mengirim surat yang berisikan bahwa Nabi hendak
meminangnya. Sedangkan pada Aisyah, Nabi saw sendiri yang mendapatkan pertanda
bahwa Aisyah kelak menjadi istrinya. Jibril menunjukkan pada Nabi ketika bayi Aisyah
dalam buaiannya sebagai pengantinnya di masa depan dan pengganti yang cocok
bagi Khadijah. Hal ini sekaligus sebagai berita gembira bagi Nabi setelah Siti
Khadijah meninggal.
b.
Peristiwa Ajaib Istri-istri Nabi ketika menjadi Istri Nabi
Ada
beberapa kisah luar biasa dari istri-istri Nabi ketika mereka bersama dengan
Rasulullah membina rumah tangga. Salah satunya apa yang dialami oleh Zainab
Binti Jahsy ia diberi keajaiban oleh Allah ketika makanan yang disiapkan oleh
Anas bin Malik untuk kenduri pernikahannya bertambah banyak hingga cukup untuk
memberi makan 71 tamu. Selain itu Aisyah yang merupakan satu-satunya istri yang
masih perawan ketika menikah dengan Nabi diberi kelebihan dapat melihat
Malaikat pada peristiwa-peristiwa penerimaan wahyu, akan tetapi sebagian
riwayat bahwa ia tidak bisa melihat hanya saja menyampaikan salam kepada
Malaikat melalui Nabi.
Rasulullah
pernah bersabda bahwa istri ia yang paling pertama bergabung dengan Rasulullah
adalah “yang memiliki lengan paling panjang”. Pada awalnya para istri Nabi
tidak memahami apa yang disabdakan oleh rasulullah tersebut. Istri-istri Nabi
akhirnya memahaminya bahwa istilah lengan panjang adalah berarti “kemurahan
hati”, karena yang pertama meninggal setelah Nabi wafat adalah Zainab binti
Jahsyi yang berhati lembut dan murah hati dibandingkan dengan istri-istri Nabi
yang lain.[10]
Menurut
pandangan stowasser, hadis hagiografi yang berkaitan erat dengan istri-istri
Rasulullah ini memiliki makna inspirasional di mana pada kisah-kisah yang telah
disebutkan di atas, istri-istri Nabi dilukiskan sebagai individu-individu yang
mendapat berkah dari Allah serta diangkat derajatnya baik di dunia maupun di
akhirat di atas kalangan wanita pada umumnya. Inilah sisi lain dari istri Nabi
sebagai penyeimbang dengan riwayat-riwayat yang meletakkan kedudukan
istri-istri Nabi saw. sebagai “perempuan-perempuan biasa”.
Data-data
riwayat keutamaan istri Nabi ini menyatakan bahwa salah satu fungsinya adalah
untuk mengangkat derajat istri-istri Nabi saw. Hal ini merupakan tanggapan ia
terhadap banyaknya riwayat yang menggambarkan istri-istri Nabi sebagai gambaran
pribadi yang diwarnai dengan konflik. Banyak hadis yang lebih banyak
mencurahkan perhatiannya pada detail intrik-intrik rumah tangga, percekcokan,
kecemburuan, sifat iri, dan kelemahan-kelemahan lain dari istri-istri Nabi.
Untuk itu perlu adanya pengangkatan hadis hagiografi yang banyak di
tutup-tutupi pada abad pertengahan sebagai bukti keagungan dan berah Allah yang
diberikan kepada istri-istri Nabi yang tentunya menjadi suri teladan atas umat
Islam perempuan yang ideal.[11]
2.
Poligami Nabi Muhammad
Kajian
mengenai poligami memang merupakan salah satu kajian utama mengenai budaya
Patriarkhi Arab. Kritik Barat terhadap tema poligami ini melahirkan reaksi
defensif dari kalangan konservatif modern. Di dunia Arab sendiri pada abad 19
juga muncul kontroversi mengenai poligami ketika golongan reformis modern
mengutuk aplikasi paska Rasulullah dari institusi ini sebagai masalah dalam
masyarakat muslim modern. Salah satu tokohnya adalah Muhammad Abduh yang
menulis mengenai beberapa masalah realitas poligami pada abad 19 yang
diantaranya tirani laki-laki dan gairahnya, eksploitasi, dan penindasan terhadap
perempuan.[12]
Salah
satu pokok pemikirannya adalah menghendaki penghapusan poligami dalam Islam,
menurutnya poligami pada saat sekarang sudah berkembang menjadi praktik
penyimpangan hawa nafsu yang tidak terkendali, tanpa ada rasa keadilan dan
kesamaan. Mengenai pemikiran Abduh ini para pemikir konservatif fundamentalis
menolak kesimpulan M. Abduh. Dalam menanggapi serangan-serangan tersebut kaum
konsevatif melakukan pembelaan dengan tiga alasan:
1. Poligami
merupakan sistem yang lebih terhormat dan lembut karena melindungi istri tua,
sakit, dan mandul dari bahaya perceraian.
2. Poligami
merupakan solusi yang sangat adil ditinjau dari sudut demografis pada masa
peperangan ketika banyak laki-laki yang terbunuh dan banyak janda yang
terlantar.
3. Poligami yang merupakan respon terhadap
situasi darurat jauh lebih baik daripada monogami yang dipraktekkan di Barat
akan tetapi membolehkan hubungan seksual di luar perkawinan.[13]
Mengenai
poligami yang dilakukan oleh Nabi saw. terdapat penolakan yang ditemukan dalam
hadis abad pertengahan yang mengidentifikasi tukang-tukang fitnah itu sebagai
Yahudi yang kemudian dikuatkan dengan adanya hadis tentang ratusan istri Nabi
Sulaiman dan Dawud. Akan tetapi, pada literatur modern yang tidak mendasarkan
pemikirannya pada teks hadis, pendapat mereka tidak didasarkan pada predikat
nabi, tetapi pada sisi kemausiaan yang sempurna. Dengan adanya bukti bahwa nabi
Muhammad memiliki kekuatan dan kemampuan dalam memenuhi misi Islam dan
kebutuhan istri-istrinya maka hal tersebut merupakan sebuah keunggulan bukan
sebuah kelemahan. Hal ini juga menunjukkan bahwa islam mengokohkan kehidupan
bukan meninggalkan kehidupan. Hal ini dikuatkan dengan bukti bahwa Nabi
Muhammad tidak pernah mengumbar hawa nafsu dan sedikit merasakan kenikmatan
seksual yang merupakan bukti bahwa pernikahan Nabi bukan semata kebutuhan
seksual belaka. Akan tetapi lebih dari itu, terdapat unsur politiks dan sosial
di dalamya.
Berkaitan
dengan kasus pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsy yang sebelumnya Nabi
menikahkannya dengan Zaid ibn Haritsah, Husein Haikal penulis biografi Nabi
Muhammad yang berjudul “Hayat Muhammad” memandang kisah yang menceritakan
tentang keinginan mendadak Nabi menikahi Zainab tersebut merupakan fiksi dan
merupakan kisah khayalan dan ia menolaknya.[14] Berbeda
dengan Binti Syathi’ yang tetap mempertahankan riwayat-riwayat tersebut yang
tersebar pada abad pertengahan. Selain mempertahankan validias hadis tersebut
ia juga bereaksi mengenai penafian Haikal atas motif seksual dalam
perkawinan-perkawinan Nabi. Menurutnya pendirian Haikal itu semata-mata hanya
untuk menolak kaum orientalis yang menolak kesucian seksualitas Nabi. Lebih
lanjut Bintu Syathi’ mengatakan bahwa kisah tersebut merupakan teladan tentang
sisi kemanusiaan Nabi yang menakjubkan, karena walaupun Nabi Muhammad tiba-tiba
merasa senang kepada Zainab ia langsung memalingkan wajah dan berkata “Maha
Suci Engkau; Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, dan kemudian Nabi
menyuruhnya untuk tetap bersama suaminya. Hal ini juga menunjukkan kontrol yang
sangat tinggi yang dilakukan Rasulullah terhadap hawa nafsu yang tentunya patut
untuk diteladani.[15]
3.
Kecemburuan Istri-Istri Nabi
Cemburu
dalam bahasa arab disebut al-Ghairah ialah kebencian seseorang untuk disamai
dengan orang lain dalam segi hak-haknya.[16]
dan itu merupakan salah satu akibat dari adanya rasa cinta. Maka tidak ada rasa
cemburu kecuali bagi orang yang mencintai. Ketika seorang wanita (istri)
cemburu maka ia akan sangat marah ketika suaminya berniat untuk menikah lagi.
Oleh karena itu wanita tidak akan menerima madunya karena kecemburuannya pada
suami, dia lebih senang bila diutamakan karena kecintaan pada suaminya. Tetapi
jika tidak mencintai suaminya, maka ia tidak akan perduli.
Demikian
halnya dengan para istri Nabi sebagai manusia biasa juga mempunyai perasaan iri
dan cemburu seperti kebanyakan orang pada umumnya. Menurut Stowasser, bahwa
banyak riwayat tentang kehidupan rumah tangga Nabi yang menggambarkan secara
detail perihal perasaan iri dan cemburu yang dilakukan oleh istri-istri Nabi.
Memang, para pendatang baru (istri baru Nabi) dalam rumah tangganya telah
membangkitkan rasa cemburu yang demikian besar pada istri Nabi yang lain.
Mereka merasa khawatir para istri yang baru tersebut akan menggantikan posisi
mereka dalam kecintaannya pada Nabi, rasa cemburu tersebut membuat istri baru
tampak lebih cantik dibandingkan dengan mereka.[17]
Misal kekhawatiran semacam ini dialami oleh Aisyah ketika Nabi menikahi Ummu
Salamah dan ketika ia melihat kecantikan dan keanggunan seorang tawanan perang
yang bernama Juwairiyah. Adapun diantara hadis yang dipaparkan oleh barbara
dalam rangka menjelaskan tentang cemburunya istri-istri Nabi diantaranya:
1.
Ummu Salamah
dari golongan aritokrat Makhzum, konon ragu-ragu saat menerima tawaran
pernikahan dari Nabi. Karena ia tahu bahwa sifat pencemburu sangat besar dalam
dirinya, Dengan mengatakan “sementara engkau wahai Nabi, mengumpulkan beberapa
istri”, kemudian Nabi membujuknya untuk menikah dengan menyatakan bahwa Allah
akan memelihara perasaan-perasaan semacam itu. Namun demikian rasa cemburu Ummu
Salamah konon meluap pada sejumlah peristiwa, saah satunya terjadi selama
perjalanannya dengan Nabi. Ketika itu Nabi salah mendatangi tandu
istri-istrinya dan mendekati tandu Shafiyyah, padahal saat itu adalah hari
giliran Ummu Salamah. Sehingga ia marah kepada Nabi dan rivalnya (Shafiyyah)
dengan mengatakan “engkau berbicara dengan putri seorang Yahudi pada hari
giliranku, sedangkan engkau adalah Rasulullah”[18]
2.
Dikisahkan juga bahwa Aisyah dan Shafiyyah
pernah saling mencerca ayah masing-masing hingga Nabi mendukung Shafiyyah
dengan mengatakan bahwa “ayahnya adalah Harun dan pamannya adalah Musa”.
Perilaku serupa juga terlihat dalam hal keengganan membantu istri lain yang
sedang membutuhkan bantuan. Zainab Binti Jahsy misalnya menolak meminjamkan
seekor untanya kepada Shafiyyah yang punya kuda yang cacat, ketika Nabi
menganjurkan untuk meminjamkannya, zainab menjawab “Haruskah saya memberikan
sesuatu kepada perempuan yahudi ini?”.
3.
Suatu ketika Nabi menyuruh Aisyah untuk
memeriksa seorang wanita dari suku Kalb yang menawarkan untuk dinikahi oleh
Nabi, kemudian Aisyah menganggapnya “tidak layak untuk Nabi” tapi kemudian Nabi
menjawab “apa yang engkau lihat sesungguhnya layak, engkau melihat titik
kecantikan pada pipinya dan setiap helai rambutmu bergetar (karena cemburu)”.
Adanya
riwayat-riwayat tersebut menurut sebagian orang merupakan wujud dari watak
dasar wanita yang rendah dan irasional.
Stowasser
dalam kasus ini memberikan tanggapan terhadap pernyataan ulama abad pertengahan
dengan menyatakan bahwa muslim modern tidak mencampakkan tema tentang rasa
cemburu dari penjelasan mereka atas jalinan relasi dalam rumah tangga Nabi.
Bagaimanapun pemahaman mereka atas tema ini berbeda dengan muslim pada abad
pertengahan baik dalam kerangka berpikir dan tujuannya bahkan dalam cara
penyampaiannya.[19]
Pertama,
kajian modern menyamakan rasa cemburu dengan kekuatan cinta serta sifat
atraktif lain yang membedakan antara wanita yang dipenuhi darah (emosional)
dengan wanita yang hidup. Tema tersebut kemudian dipahami dengan pendekatan
psikologis sehingga lebih menunjukkan kekuatan watak dibanding kelemahannya,
ketaatan dan pengabdian dibandingkan dengan sifat yang cacat. Kemudian Barbara
mengutip pendapat Aisyah bint al-Syati’ yang mengatakan bahwa rasa cemburu
istri Nabi menurutnya tidak lain merupakan rasa cintanya yang mendalam serta
menjadi bukti pengabdiannya kepada Nabi saw. Mengapa mereka tidak boleh cemburu
karena rasa cintanya kepada Nabi?
Kedua,
jejak-jejak tema rasa cemburu itu (saat ini dipelihara) untuk menjelaskan sisi
kemanusiaan Nabi. ia adalah seorang Nabi sekaligus seorang laki-laki yang
sempurna dengan watak manusianya yang lebih logis, lebih bersih, lebih baik
dibanding dengan manusia yang lain. Hal ini ditunjukkan melalui kepuasan
hatinya terhadap istri-istrinya yang cemburu. Karena ia berwatak logis dan
sehat, maka ia mengizinkan istrinya mengisi dunia pribadinya dengan kehangatan,
emosi, kegembiraan, kelesuan, dan sifat yang membosankan. Sedangkan Nabi merasa
puas bahwa istrinya merasa cemburu kepadanya.
Ketiga,
penggantian tema tentang rasa cemburu pada abad pertengahan dengan tema modern
tentang suami istri yang bersemangat dan penuh cinta menandai berakhirnya
pandangan klasik tentang kelemahan perempuan dan ketidakberdayaan mereka.
Transformasi rasa cemburu manipulatif menjadi aspek positif dari jiwa wanita
sesuai dengan tipologi muslim modern yang tersebar luas dan makin berpengaruh
tentang istri-istri Nabi sebagai para prajurit yang berjuang menegakkan dan
melindungi nilai-nilai Islam.[20]
Setelah melihat pemaparan pemikiran Stowasser diatas, penulis sependapat dengan
konsep feminisme yang diusung olehnya. Memang pada dasarnya Islam tidak pernah
mengajarkan konsep budaya patriarkhi dengan menyatakan adanya superioritas
laki-laki terhadap wanita. Namun yang sebenarnya diemban oleh Islam adalah
adanya kesetaraan gender antara keduanya. Sedangkan mengenai isu kecemburuan
istri-istri Nabi tersebut bukanlah menunjukkan bahwa istri-istri Nabi merupakan
watak dasar wanita yang terkesan rendah dan irasional seperti yang diungkapkan
oleh ulama abad pertengahan, tetapi hal itu merupakan bukti bahwa kecintaan
istri Nabi tersebut sangatlah besar terhadap Nabi.
4.
Istri- istri Nabi Saw Sebagai Teladan Bagi Semua Wanita
Banyak
hadis yang mengisahkan ibu-ibu kaum mu’minin sebagai model kesalihan dan
keimanan yang setiap tindak tanduknya menjadi teladan dan komitmen mereka untuk
menegakkan tatanan agama Allah di muka bumi melalui keteladanan personal. Medan
perjuangan mereka bukan medan perang, namun medan perjuanganya adalah
perjuangan untuk melaksanakan dan memelihara norma-norma dan nilai-nilai islam.[21]
Bahkan
hadis-hadis tentang sikap pribadi mereka, pakaian, ritual, ibadah, dan
sebagainya pada umumnya harus dianggap sebagai hukum, sebab makna yang
dikandungnya bersifat normative. Semua itu nampak jelas dalam hadis tentang
kesopanan, kerudung dan pemisahan. Disini para istri nabi dilukiskan sebagai
penguat norma-norma al-Qur’an yang baru saja dibebankan. Misalnya kisah Aisyah
pernah menyobek pakaian tipis yang dipakai keponakan perempuan Hafsah, dia
menasehatinya dan mengingatkannya dengan surat an-Nur ayat 24 dan kemudian
memberinya baju tebal.[22]
Aisyah
yang dikisahkan telah memakai kerudung diluar rumah setiap saat bahkan ketika
masih kecil sebelum mencapai usia pubertas. Hadis-hadis tersebut tidak berdiri
sendiri melainkan selalu bersama teks al-Qur’an dan memantapkan invibilitas
para istri nabi melampaui batasan-batasan yang ditetapkan pada perempuan muslim
pada umumnya. Sebuah hadis misalnya mengisahkan saat nabi kembali kemadinah
dari ekpedisi Khaibar, Ia memberikan untanya kepada tawanan perangnya, Shafiyah
yang tubuhnya sudah tertutup jubah dari kepala hingga kaki sehingga tidak
seorangpun berani melihatnya, ketika unta itu tersandung dan melemparkan
penungganya hingga nabi menggantikan atau menutupi tubuhnya dengan
selendangnya. Itulah sekelumit riwayat yang menceritakan istri nabi dalam menjaga
dirinya agar tidak menimbulkan fitnah bagi orang lain.[23]
Bagaimanapun,
keimanan para istri nabi melampui peran mereka sebagai teladan bagi landasan
penetapan norma hukum yang terungkap dalam catatan hukum yang baru yang
dikutip. Bahkan hadis hadis mengungkap semangat ideal dari rumah tangga
poligami nabi yang mengajawentah dalam urusan para istri nabi sehari-hari yang
hidup berdampingan secara damai antara satu dan yang lainnya bahkan saling
menyanyangi. Mereka diikat oleh semangat kebersamaan yang intens. Istri-istri
nabi tersebut memanggil slah satunya dengan panggilan kakak-adik.30 Selain itu
juga dikisahkan tentang tentang kejujurannya serta meninggalkan kesenangan yang
sah menurut hukum islam misal Aisyah selalu berpuasa dan membagi sedekah meski
dalam keadaan keuangannya sangat minim dan dia hanya mengenakan baju yang usang
yang dijahit dengan tangannya sendiri. Menurut sebuah hadis kesederhanaan itu
adalah karena menaati kata kata Nabi: “Aisyah jika engkau ingin bergabung
denganku ambillah sedikit dari dunia ini seperti yang dibawa seorang pengembara
jangan sampai engkau disebut sebagai orang kaya, dan jangan menganggap sebuah
baju usang hingga engkau merasa sesak untuk memakainya”. Akhirnya, hadis-hadis
tersebut menekankan bahwa kesalihan dan keimanan istri-istri nabi termasuk
pengetahuan mereka tentang materi-materi keimanan yang mendalam, juga keadaan
mereka yang sempurna dalam meriwayatkan hadis. Misalnya; ibnu zubair ketika meriwayatkan
suatu hadis dari Aisyah dia berkata demi Allah dia tidak pernah berkata bohong
sedikitpun tentang Rasulullah. Dan sebagainya yang mencontohkan keteladanan
para istri nabi saw, yang semoga semua keteladanan itu dapat menjadi teladan bagi
para wanita pada umumnya.
c. Kesimpulan
Stowasser
tidak memiliki teori khusus terkait dengan kajian Hadis. ia hanya berusaha
menampilkan data-data mengenai hadis dan perdebatan-perdabatan yang muncul
mengenai hadis tersebut, yang kemudian terlihat kecenderungan pandangannya pada
pemikiran siapa. Selain itu ia tidak menyinggung mengenai kritik sanad dan
matan dalam hal keotentikan hadis. Menurutnya hadis adalah sebuah catatan dari
semua ucapan dan perbuatan Nabi saw, juga merupakan catatan atas apa yang
dipercaya oleh komunitasnya pada abad pertama dan kedua dari sejarah. Jadi
menurutnya bahwa hadis memang benar-benar orisinal berasal dari Nabi. Ia
merupakan rekaman sejarah tentang kehidupan Nabi.
Dalam
masalah hagiografi, terdapat pengucilan hadis-hadis yang memuat tentang
keajaiban-keajaiban yang di alami oleh istri-istri Nabi pada abad pertengahan
Islam sehingga sisi keunggulan dan kemuliaan Istri-istri nabi sedikit
tertutupi.
Sedangkan
dalam kasus poligami terdapat kontroversi antara kaum konsevatif fundamentalis
dan kaum reformis semisal Muhammad Abduh mengenai hukum poligami pada masa
sekarang. Selain terdapat fakta bahwa terdapat usaha menafikan sebagian riwayat
(riwayat tentang pernikahan Zainab dan Rasulullah) sebagaimana dilakukan oleh Husein
Haikal demi melindungi kesucian Nabi dari gangguan hawa nafsu yang ditakutkan
menodai kenabian Muhammad. Berlawanan dengan apa yang dilakukan Husein Haikal
dan Bintu Syathi’ lebih mempertahankan validitas riwayat dengan argumen bahwa
hal tersebut menunjukkan sisi kemanusiaan Nabi dan sekaligus bukti kuatnya
perlindungan Nabi terhadap hawa nafsu.
Mengenai
kecemburuan istri nabi, Stowasser mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa
riwayat-riwayat tentang cemburunya istri-istri Nabi tersebut merupakan wujud
dari watak dasar wanita yang rendah dan irasional, akan tetapi kecemburuan
tersebut merupakan bukti kecintaan mereka kepada Nabi. Wallahu a’lam bissowab.
{1} Wahyudin Darmalaksana,
Hadits di Mata Orientalis : Telaah Atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Josep Schacht
(Bandung: Benang Merah Press, 2004), hal. 51.
[2]
Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT.
Gramedia, 1992), hlm. 408.
[3]
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hlm. 1023.
[4]
H.M. Joesoep Sou’yb, Orientalisme dan Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang), 1990,
hal. 1
[5]
M.Amin Rais, Cakrawala Islam (Bandung : Mizan, 1986), hlm. 234.
[6]
Edward W. Said, Orientalism terj. Asep Hikmat, Orientalisme (Bandung: Pustaka,
2001), hlm. 3.
[7]
Edward W. Said, Orientalism terj. Asep Hikmat, Orientalisme, hlm. 4.
[8]
Feminisme yaitu sebuah
gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara laki-laki dan
perempuan. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008). hlm. 410. Lihat juga, Inayah Rohmaniyah, Gender dan
Kontruksi Perempuan dalam Agama, dalam Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan
Hadits Vol. 2, No. 2, Juli 2009. hlm. 209.
[9]
http://explore.georgetown.edu/people/stowassb/
di akses pada 27 desember 2016, jam 13.27
Wib.
[10] Barbara Freyer Stowasser,
Reinterpretasi Gender; Wanita dalam, hlm. 293-298.
[11] Barbara Freyer Stowasser,
Reinterpretasi Gender; Wanita dalam, hlm. 297-298.
[12] Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi
Gender; Wanita dalam, .hlm. 312.
[13] Barbara Freyer Stowasser,
Reinterpretasi Gender; Wanita dalam, hlm. 313-314.
[14] Cerita tentang Rasulullah
melewati Rumah Zainab ketika suaminya tidak ada di rumah dan tertarik kepada
kecantikannya. dibagian pintu masuk rumah terdapat tirai terbuat dari kulit dan
ketika itu terkena angin dan terlihatlah Zainab tersingkap di dalam kamarnya.
Riwayat ini terdapat dalam tafsir Ath-Thobari dan juga riwayat dari Ibn Sa’ad.
[15] Barbara Freyer Stowasser,
Reinterpretasi Gender; Wanita dalam, hlm. 314-322.
[16] Ahmad Warson
Munawwir, Kamus al-Munawwir
Arab-Indonesia Terlengkap
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
hlm. 1026.
[17] Barbara Freyer Stowasser, Woman
in the Qur’an, hlm. 108.
[18] Barbara Freyer Stowasser, Woman
in the Qur’an, hlm. 110.
[19] Barbara Freyer Stowasser, Woman
in the Qur’an, hlm. 124-125.
[20] Barbara Freyer Stowasser,
Reinterpretasi Gender; Wanita dalam, hlm. 323-326.
[21] Barbara Freyer Stowasser,
Reinterpretasi Gender; Wanita dalam, hlm. 298.
[22] Barbara Freyer Stowasser,
Reinterpretasi Gender; Wanita dalam, hlm. 298-299.
[23] Barbara Freyer Stowasser,
Reinterpretasi Gender; Wanita dalam, hlm. 299-300.